Jakarta,Beritakotanews.com: Perbedaan-perbedaan kecil khilafiyah didalam beragama, sebaiknya tidak usah diolah menjadi masalah, selagi masih Syahadatnya sama, kitabnya sama, ibadah hajinya juga sama ke Makkah, maka persatuan dan kesatuan ummat Islam lebih penting dari sekedar perbedaan keci. Kebersamaan dalam ikatan tali Agama Islam jauh lebih utama, ajak KH. Syarifuddin Abd Ghoni, MA. Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta, saat memberikan tausyiah pada acara buka puasa bersama LDII DPW Provinsi DKI di Hotel Saripan Pasifik Jakarta.
KH. Syarifuddin Abd. Ghoni, MA. selanjutnya mengajak kepada semua pihak untuk saling menghormati atas perbedaan khilafiyah dalam beribadah, selagi masih berpedoman Qur’an dan Hadist.
“Janganlah hal-hal kecil dibesar-besarkan, sehingga menjadi tidak rukunnya beragama, berbangsa dan bermasyarakat, mari kita satukan dalam bingkai Islam yang rahmatan lil’alamin,” Ajak KH. Syarifuddin Abd Ghoni, Sabtu, 17/06/2017
Acara buka puasa bersama DPW LDII Provinsi DKI Jakarta bersama pengurus DPD LDII Kota, dan pengurus MUI Kota se DKI Jakarta, pada Sabtu 17/06/2017 di room Jaya1, Hotel SaripanPasifik Jakarta, dihadiri oleh anggota dewan dari fraksi PAN, Bambang Kusumanto, dan dari pengurus FUHAB, KH. Yusuf Aman, MA.
IR. H.Tedy Suratmadji, Ketua DPW LDII Provinsi DKI Jakarta sebagai tuan rumah, dalam sambutanya juga mengatakan hal yang sama dengan apa yang diutarakan oleh Ketua Umum MUI Prov DKI. Bahwa persatuan dan kesatuan umat adalah hal yang paling utama dalam pembinaan umat.
“Moment buka puasa bersama adalah moment yang paling ideal untuk merajut kasih, saling silaturahim dalam rangka bersama-sama membina ummat, agar ummat juga merasa aman,nyaman dan damai dalam beribadah, berbangsa dan bermasyarakat,” Jelas, Tedy.
Sekretaris DPW LDII Provinsi DKI, saat dimintai pendapat terkait dengan ramainya ide Mendiknas, tentang sekolah fullday, disela-sela acara bukber, Mohammad Ied, berpendapat bahwa, sebaiknya kebijakan itu masih bisa di tinjau kembali, atau dijelaskan kepada masyarakat umum, maksud dan tujuannya, sehingga dimasyarakat tidak da pemikiran liar dari ide tersebut.
“Dimasyarakat berkembang pemikiran bahwa dengan akan diberlakukanya sekolah fullday lima hari dalam banyak pihak menduga kebijakan FDS ini memuat egenda terselubung dan bahkan berpotensi merugikan model pendidikan sore yang sudah berkembang sejak ratusan tahun, seperti madrasah diniyah, Taman Pendidikan Quran (TPQ) dan sejenisnya,” Ujar Mohammad Ied.
Mohammad Ied, selanjutnya mengajak masyarakat, agar lebih dewasa dalam menerima informasi, sehingga akan jelas apa yang dikehendaki pemerintah.
Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikud) Muhadjir Effendy membantah jika kebijakan FDS atau lima hari sekolah itu akan menghilangkan peran lembaga pendidikan agama nonformal dalam membentuk karakter anak.
Justru, menurut dia, sebagaimana yang dilansir Kompas, lembaga pendidikan agama nonformal seperti Madrasah Diniyah (Madin) dan Taman Pembelajaran Al Quran akan ditarik sebagai partner pembelajaran dalam alokasi delapan jam kegiatan belajar mengajar (KBM) tersebut.
“Jadi lima hari belajar bukan berarti anak ditahan di sekolah dan tidak boleh belajar agama. Alokasi delapan jam sehari itu berisi kegiatan kurikuler dan nonkurikuler. Nantinya Madrasah Diniyah ini yang mau kita tarik ke sekolah formal, mereka akan kita lembagakan,” kata Muhadjir usai pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP) di SMPN 2 Banjarnegara, Jateng, Jumat (16/6/2017).
Meski demikian, masih banyakmasyarakat yang tetap menolak, karena dianggap kurang efektif dan menambah beban biaya.(N-3)