Opini :
Menguak Fakta Dibalik Radikalisme
Oleh: Eli Amanah*
Ledakan bom di beberapa wilayah pada tempat umum, kekerasan yang hingar bingar mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan seksual juga penusukan yang memababi buta banyak terjadi di Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya kecemasan masyarakat yang semakin meningkat karena semakin banyaknya korban yang berjatuhan akibat tindak radikalisme.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Paham tersebut dianut oleh kelompok islam garis keras yang menginginkan perubahan terhadap NKRI untuk menjadi Negara islam.
Aksi terror ini akan terus bermunculan selama masih ada kelompok Islam garis keras yang mengatasnamakan jihad islam untuk menebar kesengsaraan di Indonesia yang sebetulnya target utama dari aksi terror ini adalah orang asing. Pada masa penjajahan, ini disebut kelompok ekstrim yang dulunya digunakan Belanda sebagai lawan dari kaum moderat.
Terhitung mulai dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002 hingga pengeboman di Kampung Melayu (24/5) kemarin. Saat ini tercatat 1.300 orang Indonesia yang di pidana akibat kasus terorisme dan 900 diantaranya sudah menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat. Kecemasan masyarakat pun meningkat ketika narapidana terorisme ini dikembalikan ke masyarakat, karena menurut berita yang dikutip dari majalah tempo 26 juni – 2 juli 2017, sebagian pelakuya kembali melakukan kekerasan.
Menurut keterangan dalam sebuah liputan khusus, pelaku bom Kampung Melayu (24/5) kemarin merupakan bekas anggota kelompok Cibiru Bandung, yang pada 2011 lalu dihukum enam tahun karena merakit bom untuk berjihad. Kelompok ini berafiliasi dengan narapidana terorisme yang berbaiat pada Negara Islam Israel dan Suriah (ISIS).
Kisah pilu tak usai hanya sampai pada tanggal 24 Mei lalu, peristiwa terror terukir dengan penyerangan senjata tajam terhadap Mapolda Sumut, Minggu (25/6). Kabid Humas Polda Sumut Rina Sari Ginting mengatakan motif penyerangan tersebut mengambil senjata milik Polda Sumut untuk melakukan penyerangan berikutnya. Baru baru ini terjadi pula di kawasan Mabes Polri – Jakarta Selatan yang memakan korban dua aparat kepolisian seusai sholat isya (30/6). Dua anggota kepolisian tersebut ditikam dengan pisau sangkur di Masjid dekat Mabes.
Menurut Fauziah Mursid dari salah satu artikelnya dalam koran harian republika menyatakan bahwa kini aksi terror telah bergeser ke aparat keamanan tak hanya menyasar ke objek vital publik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Diyauddin, Peneliti Kajian Strategis Intelijen UI “Intinya, sekarang polisi menjadi target sasaran kelompok terror. Salah satu jihad mereka saat ini adalah melawan institusi kepolisian”. Polisi menjadi sasaran karena timbulnya luka dan dendam dari kelompok terorisme terhadap institusi kepolisian.
Anggota Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Antiterorisme, Bobby Adhitya Rizaldi, mengungkapkan “ Pada prinsipnya, aksi terroris bisa menyerang siapa saja, di mana saja, walaupun memang symbol-simbol Negara dan aparat sering dijadikan target penyerangan,” ujar Bobby.
Cita-cita untuk mendirikan Negara islam melatarbelakangi aksi terror di Indonesia. Kelompok radikal ini dibentuk dengan komando jihad. Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan meledakkan bom itu akan mendapat pahala dan surga. Dengan keyakinan tersebut, banyak dari mereka yang belajar perang dan merakit bom di beberapa Negara seperti Afganistan, Filipina, juga ada di dalam negri yaitu Aceh, Poso, atau Ambon.
Pelaku terorisme yang menyerang simbol Negara di Sumut merupakan anggota kelompok yang pernah tinggal di Suriah. Pelaku ini diduga memiliki ideologi yang sangat kuat tentang kelompok Islam garis keras dikarenakan ia pernah tinggal di Suriah yang kemungkinan bersangkutan ikut berjuang dengan fraksi tertentu selama tinggal di Suriah.
Kelompok yang dianggap ekstrem ini ada yang dilandasi ideology, ada pula berdasarkan kesukaan atau separatisme. Namun saat ini yang terlihat nyata adalah kelompok gerakan radikal ini dilandasi oleh ideologi yang kuat dan didukung adanya gejala konservatisme dengan pemahaman agama yang lemah sehingga muncul paham keliru.
Munculnya gejala konservatisme yang berkembang di masyarakat menjadi salah satu akar dari masuknya radikalisme di Indonesia karena gejala ini menimbulkan dakwah yang intoleran atau tidak menerima pancasila dan demokrasi NKRI. Indoktrinasi paham radikalis kini sudah masuk dalam dunia pendidikan anak. Hal tersebut ditemukan ketika kepolisian Negara menyita 155 buku berisi paham radikalisme yang ditemukan di rumah tersangka teroris.
Beberapa gejala bisa saja muncul karena banyaknya peristiwa yang terus bermunculan di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya upaya deteksi dini terhadap aksi terror, dibutuhkan kewaspadaan dan antisipasi antiteror. Bobby menilai pentingnya memperkuat revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini dibahas DPR dan pemerintah. Ini semua terjadi karena adanya kendala paying hukum dalam proses pencegahan terorisme. “Makanya, dengan revisi UU ini, diharapkan bukan saja terorisme yang terorganisasi yang bisa dicegah, tetapi lone wolf terrorist (sel teroris tunggal) bisa diantisipasi.” Kata anggota Komisi I DPR.
Selain itu, kini pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Teroris meluncurkan program deradikalisasi yang menyasar pada narapidana yang sedang menjalani hukuman dan juga mantan narapidana yang kembali ke masyarakat dengan tiga pembekalan wawasan yaitu: keagamaan, kewirausahaan dan kebangsaan. Tiga wawasan ini dibekali karena inilah yang bisa melatarbelakangi tindak teroris.
Deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya menetralkan pandangan radikal yang dianut narapidana terorisme sebelum kembali ke masyarakat, dikutip dari majalah tempo. Menurut Dete Aliah, Managing Diroctor Yayasan Prasasti Perdamaian, deradikalisasi adalah proses yang dilakukan Negara ataupun masyarakat sipil untuk melepaskan seseorang dari pemikiran dan perilaku kekerasan.
Sejauh ini, program deradikalisasi dianggap masih kurang optimal karena ini hanya memisahkan mereka dari tindak kekerasan belum mengubah pemahaman dan pemikiran radikal. Ironisnya masih banyak anggota teroris yang kembali ke masyarakat menjadi pelaku dari aksi teroris yang lain bahkan bisa menjadi leebih keji dari sebelmunya. Hal ini dikarenakan setiap pelaku kekerasan memiliki alasan yang berbeda dan unik untuk melakukan tindak kekerasannya sehingga tidak bisa disama ratakan program yang dibuat. Titik balik pelaku radikal ini muncul jika mereka mengalami peristiwa yang menyentuh titik kemanusiaannya. Hal ini berbanding lurus dengan tujuan deradikalisasi yaitu memanusiakan manusia.
Disamping itu, ada pula wujud keberhasilan dari program deradikalisasi yang terlihat. Contohnya Ali Imron, salah seorang pelaku bom Bali I, meskipun ia masih mendambakan Indonnesia menjadi Negara Islam, namun ia tetap gencar mengkampanyekan bahwa terorisme adalah jalan yang keliru.
Titik balik yang lain adalah kisah Ali Fauzi Mazin yang dikenal sebagai perakit bom dan sekaligus mentornya, ia menyatakan bahwa dirinya mampu merakit bom hanya dengan bahan dasar bumbu dapur. Namun kisah pilunya di penjara menggantarkan ia ke arah yang benar yaitu ketika ia dipenjara oleh Polisi Nasional di Filipina, ia selalu disiksa sehigga ia menderita patah tulang, kemudian dalam keadaan sakit ia mendapat perawatan yang baik dari tim Kesehatan Markas Besar Kepolisian RI. “Saya awalnya berpikir, kalau balik ke Indonesia, akan disiksa habis-habisan. Ternyata saya dipelakukan dengan baik.” Katanya. “Saat itu saya merasa tersentuh”.
Setelah kejadian tersebut ia pun menyadari bahwa jalan yang ia lakukan dengan alasan berjihhad selama ini salah. Saat ini Ali melakukan perlawanan terhadap teroris bersama BNPT dan polisi. Selain itu, ia juga merangkul keluarga terpidan teroris dan puluhan mantan kombatan.
Banyak kisah yang terukir menyentuh dari mantan narapidana teroris yang kini menjadi pelopor untuk melawan tindakan radikal yang mengatasnamakan islam karena menurut mereka itu adalah jalan yang salah. Kisah ini dimulai dari pertemuan narapidana dengan keluarganya sendiri, melihat pilu keluarga korban maupun korban dari tindakan radikal yang dilakukannya, adapula titik balik itu muncul akibat cibiran masyarakat ketika ia keluar dari bui hingga kisah surat dari seseorang yang menginspirasi tindakan radikal.
Tindakan radikal ini terjadi karena pengaruh dari beberapa faktor diantaranya: indoktrinasi ulama dengan pemahaman agama yang lemah, keluarga dan lingkungan, faktor ekonomi hingga faktor ketidakadilan pemerintah dan juga media sosial yang sekarang dengan mudah menjadi pemicu perpecahan dan intoleransi. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa NKRI kafir dan pancasila salah sehingga mereka rela memerangi Indonesia untuk mendapat pahala jihad.
Secara bahasa, jihad memang memiliki arti perang atau membela. Namun dalam hal ini bukan berarti memerangi NKRI demi keyakinan satu umat hanya dengan alasan berdakwah. Banyak jalan dalam menyampaikan dakwah termasuk pada era keterbukaan informasi saat ini bisa menjadi alat penyerangan yang kuat bagi penganut paham radikalis untuk menyebarluaskan paham yang keliru. Dalam hal ini, peran pemuda sangat penting untuk meningatkan literasi media dan bisa lebih selektif dalam menerima informasi yang berkaitan dengan hukum agama.
Sebaiknya dalam belajar agama bisa langsung belajar dengan guru ngaji atau guru besar yang mungkin lebih faham tentang agama dengan tujuan untuk menanamkan kefahaman yang kuat sehingga tidak terjadi paham keliru. Ormas islam melibatkan media massive seperti media online juga perlu dilakukan untuk mendominasi dunia maya dengan kampanye deradikalisasi serta bisa bekerjasama dengan social media influencer untuk meningkatkan kredibilitas program deradikalisasi dalam dunia maya pada era keterbukaan informasi ini. Untuk melengkapi program ini juga seharusnya bisa melibatkan polisi dan mantan pidana teroris yang berhasil dari program deradikalisasi sebelumnya.