Opini :

BUDAYA TERAMPIL BICARA ORANGTUA DAN KEKERASAN FISIK  DALAM INTERAKSI SOSIAL ANAK

oleh : Puri Fitriani S.Sos

Papan-empan-adhepan…

Pitutur pahit madu…

Ajine diri ono ing lathi…

Adalah beberapa petuah dalam tradisi Jawa yang masih diwariskan turun temurun secara lisan. Ketiga petuah warisan tersebut berkaitan dengan tutur kata, kesopanan berbicara dan pemilihan diksi yang secara keseluruhan berkaitan erat dengan kemampuan kontrol dan manajemen emosi seseorang.

Papan-empan-adhepan adalah wejangan agar setiap individu dapat selalu memperhatikan tempat dan situasi (papan) dimana ia sedang berada. Mewaspadai isi atau kata-kata (empan) yang diucapkan saat berbicara dan memperhatikan siapakah orang yang sedang dihadapi (adhepan) sebagai lawan bicara.

Pitutur pahit madu  adalah pengingat agar selalu bertutur kata yang baik, memilih diksi, kata dan kalimat yang tidak menyakiti dan menyinggung orang lain. Ibarat kata, manisnya madu pun akan terasa pahit apabila dibandingkan dengan tutur kata yang terucap.

Sementara Ajine diri ono ing lathi mengandung makna yang dalam bahwa harga diri seorang manusia itu terletak pada ucapan dan perkataan yang terlontar dari dirinya, baik secara lisan maupun tulisan.

Siapa pun yang mampu mengaplikasikan petuah-petuah tersebut dalam keseharian, secara tidak langsung telah melakukan pula sebagian upaya manajemen kelola emosi pada dirinya. Bagaimana seseorang dapat tetap bertutur kata yang baik dan sopan dengan pemilihan diksi yang tertata dan menghindari kalimat negatif di saat pikiran berkecamuk serta amarah membuncah di dada, tentunya membutuhkan usaha kelola dan kontrol emosi dalam batin yang tidak sederhana.

Lalu bagaimana hubungan dan keterkaitan antara budaya bicara dengan tutur kata positif pada orangtua yang mencerminkan kemampuan manajemen dan kontrol emosi, dengan perilaku kekerasan fisik dalam interaksi sosial atau pertemanan anak?

Terjadinya perselisihan, salah paham dan perbedaan pendapat dalam interaksi pertemanan adalah dinamika bersosialisasi yang umum dan wajar terjadi. Bagi anak usia TK dan SD, tarik ulur emosi saat menghadapi salah paham dan perbedaan persepsi dengan teman sebaya, terutama di sekolah, adalah salah satu media untuk membentuk karakter positif. Dengan bersosialisasi, anak-anak akan belajar bertoleransi, berlatih tenggang rasa serta kompromi, juga belajar mempertahankan pendapat. Berteman dengan teman sebaya juga membuat anak dapat membuktikan dan mengetahui bahwa ada pendapat-pendapat yang seirama atau bertentangan dengan isi kepalanya.

Namun tidak dipungkiri, bahwa salah satu resiko perbedaan pendapat dan perselisihan pada anak usia Sekolah Dasar dapat pula berujung dengan terjadinya tindak kekerasan fisik antar anak. Saling serang dan membalas secara fisik atau terjadinya perkelahian fisik ini kemudian seringkali dimaknai sebagai tindakan bully.

Padahal menurut Wikipedia, definisi bully atau perisakan adalah penggunaan kekerasan, ancaman atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Tindakan penindasan dapat terdiri dari empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal dan cyber. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Artinya dalam tindakan bully ada faktor dominasi kekuasaan dari salah satu pihak. Sementara pada kasus kesalahpahaman atau perselisihan dalam dinamika sosialisasi antar teman sebaya yang berujung pada selisih dengan kekerasan fisik umumnya semua pihak yang terlibat berada pada posisi yang sama kuat. Tidak ada pihak yang mendominasi atau didominasi oleh pihak yang lain.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang guru Bimbingan Konseling yang nyaris setiap hari menghadapi kasus perselisihan yang melibatkan kekerasan fisik antar siswa Sekolah Dasar, dalam semua kasus yang terjadi, umumnya tidak ada pihak yang lebih benar ataupun lebih salah. Semua pihak yang terlibat dalam perselisihan biasanya dalam posisi seimbang dan masing-masing pihak memiliki kontribusi kesalahan dalam pertengkaran atau perkelahian yang terjadi. Dan pada saat yang sama semua pihak juga memiliki sisi “benar” dalam perselisihan tersebut.

Salah satu faktor penting yang akhirnya memicu terjadinya kekerasan fisik umumnya adalah ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya secara verbal dengan bicara. Kebanyakan anak usia Sekolah Dasar di level kelas berapa pun, umumnya masih kurang terlatih dan kurang terampil untuk menyampaikan ketidaknyamanan yang dirasakan atas perilaku teman sebaya melalui kalimat verbal yang jelas dan dapat dimengerti oleh temannya. Penulis akan mencoba mengulas hal ini dalam bentuk penjabaran contoh kasus.

Misalkan saja dalam kasus perselisihan antara Andi dan Diki. Saat Andi sedang asyik menggambar di tempat duduknya, Diki bermaksud mengajak bermain. Diki mencolek-colek lengan Andi agar mau bermain dengannya. Andi yang merasa terganggu kemudian berkomentar, “aaah apa sih Dik!” Diki yang belum berhasil mengajak Andi bermain dengannya kemudian terus mengulangi perilaku mencolek. Setelah beberapa kali Andi mengucapkan komentar yang sama, dan Diki masih terus mengulangi mencolek, akhirnya kesabaran Andi menipis, dan kemudian tanpa peringatan langsung menjewer telinga Diki. Diki yang tidak terima dijewer, kemudian membalas dengan tendangan. Dan seperti itu seterusnya hingga dilerai oleh guru.

Diki yang kurang terlatih untuk berbicara, menggunakan bahasa tubuh dengan mencolek Andi agar mau bermain dengannya. Sementara Andi yang tidak mengerti maksud dan keinginan Diki merasa tidak nyaman dan terganggu dengan colekan tersebut. Di lain pihak, Andi pun tidak mengkomunikasikan ketidaknyamanan yang dirasakan dengan cukup jelas. Kalimat, “Aaah apa sih Dik!” tidak secara nyata menyampaikan pesan yang dapat dimengerti oleh Diki. Kalimat yang diucapkan Andi cukup abu-abu maknanya, dan tidak semua temannya dapat menangkap makna tersirat dibalik kalimat tersebut.

Mungkin akan berbeda hasil akhirnya apabila kalimat yang diucapkan Andi lebih jelas menyampaikan apa yang dirasakan, misalnya “Diki, aku nggak suka kamu colek-colek seperti itu.!” Atau jika Diki dapat mengawali ajakan bermainnya dengan kalimat verbal yang lebih mudah dipahami lawan bicara, seperti: “Andi, main bola yuk..”

Dalam banyak teori parenting dan psikologi, banyak rumus tindakan  langkah-langkah anti bully yang dapat diajarkan pada anak-anak oleh orangtua di rumah. Salah satunya adalah langkah bicara-lapor-lawan-lari. Dan sudah sangat banyak orangtua yang menanamkan langkah anti perisakan ini pada anak-anak mereka, bahkan tak jarang juga dilengkapi dengan melakukan simulasi atau role play bersama anak di rumah. Namun banyak orangtua yang mungkin terlupa, bahwa cara melakukan penanaman perilaku pada anak yang terbaik bukanlah melalui nasehat atau tutur kata panjang lebar setiap hari. Anak-anak jauh lebih menyerap perilaku orangtua yang mereka lihat sehari-hari ketimbang pitutur wejangan panjang lebar yang mereka dengar. Sebelum orangtua mengajarkan kepada anak untuk bicara menyampaikan perasaan dan ketidaknyamanan, apakah para orangtua di rumah juga sudah mempraktekkan hal tersebut di rumah saat sedang merasa tidak nyaman atau terganggu?

Sebagai contoh kasus, saat anak tidak menghabiskan makanan di piring, kalimat apakah yang biasanya diucapkan seorang ibu; (1)”Iiiih kamu gimana sih, makan kok nggak habis terus? Bunda sudah capek masak blab la bla bla!!!” atau (2)”Bunda sedih loh kalau kakak makan tidak dihabiskan. Jadi mubazir terbuang, bunda juga merasa tidak dihargai sudah capek memasak.” Atau sang ibu tipe yang lelah berkalimat, sehingga langsung melakukan tindakan fisik seperti mengambil piring dengan lalu melempar isinya ke tempat sampah?, ataukah meluapkan kekesalan dengan otomatis mencubit atau menjewer ananda?

Dapat dirasakan perbandingan perbedaan antara kalimat pertama dan kalimat kedua. Pada kalimat pertama, sang ibu hanya memusatkan perhatian pada perilaku anak, dan kalimat yang tidak gambling menyampaikan perasaan bunda seperti ini umumnya hanyalah sebuah awal dari rangkaian omelan panjang lebar sang ibu. Pada kalimat kedua, sang ibu menyampaikan dengan singkat padat dan jelas perasaannya, bahwa merasa sedih melihat makanan yang mubazir. Bahwa merasa tidak dihargai hasil masakannya.

Aplikasi keterampilan orangtua berbicara dan berkalimat sehari-hari untuk menyampaikan perasaan dan isi hati seperti kalimat kedua tersebut yang akan jauh lebih banyak diserap anak ketimbang  wejangan dan simulasi role play tahapan bicara-lapor-lawan-lari. Bagaimana cara orangtua meluapkan emosi dalam keseharian di rumah akan dilihat, diamati, diserap dan tanpa sadar ditiru pula oleh anak. Dalam kasus Andi dan Diki, tindakan Andi menjewer Diki pun (setelah ditelusuri lebih lanjut) ternyata juga merupakan adopsi dari ungkapan emosional orangtuanya di rumah saat sedang marah.

Dalam kasus lain, ada seorang siswa yang jika tersulut emosi cenderung melempar, merusak dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Perilaku tersebut kemuian sering menimbulkan efek domino terhadap teman-teman sekelas yang merasa tidak nyaman atau ketakutan melihat luapan amarahnya. Saat digali lebih jauh, ternyata perilaku menghancurkan barang tersebut juga dilihat dan diserap dari salah satu orangtuanya yang kerap melempar dan meremukkan barang di rumah saat sedang emosi. Pada siswa lain, ada yang terbiasa berteriak-teriak kencang saat sedang marah. Dapat ditebak, perilaku itu juga diserap dari ungkapan emosi orangtuanya di rumah.

Mari amati skema berikut ini, kurang lebih seperti inilah korelasi antara budaya bicara dan berkalimat yang diaplikasikan oleh orangtua dalam mengungkapkan emosi di keseharian dengan potensi terjadinya perselisihan dengan kekerasan fisik dalam sosialisasi dengan teman sebaya.

Salah satu ayat menyebutkan: “Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara (perkataan dan perilaku) yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushilat, ayat 34-35).

Bahkan Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa lisan yang baik adalah bagian dari sedekah dan salah satu amalan unggulan.

Keterampilan orangtua untuk berbicara dan berkalimat dengan cara yang baik dan jelas, terutama dalam mengungkapkan segala rasa yang membuat tidak nyaman, sangat penting untuk dilatih, dibiasakan dan dijadikan budaya hidup dalam keseharian.

Susunan kalimat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan/ emosi orangtua pada anak dapat menggunakan rumusan berikut: Contoh kalimat:

Kakak tidak menghabiskan makan siang (perilaku anak) + Bunda sedih karena jadi mubazir dan rasanya masakan Bunda seperti tidak dihargai (perasaan ortu) + Insyaallah saat makan malam nanti bisa dihabiskan ya Kak (kalimat motivasi).

Pada penggalan kalimat pertama (kakak tidak menghabiskan makan siang)  menyebutkan dan menunjukkan perilaku anak yang kurang berkenan bagi orangtua. Cukup disebutkan perilakunya dengan jelas dan singkat tanpa embel-embel penilaian atau komentar yang menjatuhkan harga diri anak (misalnya, lelet amat sih, masa gitu aja gak bisa dll). Dengan begitu anak akan memahami perilaku mana yang kurang tepat untuk dilakukan dan perlu diperbaiki.

Penggalan kalimat kedua, orangtua menyebutkan dengan jelas perasaan yang dirasakan dengan kata-kata yang dapat dipahami anak, bukan kalimat ngedumel yang tersirat atau tidak konkrit. Pada penggalan kalimat terakhir, orangtua menyampaikan motivasi dan doa terhadap adanya perubahan perilaku tanpa menggurui dan bertutur panjang lebar dengan tendensi menuntut.

Bagi para orangtua, membudayakan untuk berbicara yang baik dan santun kepada siapa saja, terutama pada anak-anak ternyata memiliki peran yang sangat penting tak hanya dalam pembentukan karakter positif, tapi juga sebagai pencegahan fundamental terhadap tindak kekerasan fisik dalam lingkup sosialisasi pertemanan sebaya anak. Karena itu, penulis mengajak para orangtua untuk senantiasa terus berlatih berbicara dan berkalimat yang pahit madu kepada anak-anak di rumah.  Mengembangkan budaya menjaga lisan dan bertutur kata yang baik dengan intonasi yang santun adalah hal yang terlihat sepele namun dapat memberi efek luar biasa bagi antisipasi terhadap budaya anarki dan kekerasan fisik generasi muda bangsa ini.

Sebagai pribadi dewasa dengan status orangtua, marilah kita terus melatih diri untuk senantiasa mengaplikasikan dan memberi teladan bagi budaya pitutur pahit madu dan papan empan adepan dalam kehidupan sehari-hari. Agar anak-anak generasi penerus kita dapat menyerap, mengadopsi dan meniru budaya positif ini. Sebab sejatinya, pendidikan karakter terbaik tak selalu diperoleh dalam sekat ruang kelas, atau dalam paragraf buku teks pelajaran, atau melalui ceramah nasehat panjang lebar. Perilaku keseharian orangtua di rumah merupakan contoh sekaligus bentuk penanaman pendidikan karakter dan akhlak terbaik bagi anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *