Jakarta, Beritakotanews.com: Indonesia adalah negara yang dilihat dari letak geografisnya terletak di antara benua Asia dan Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dan secara astronomis, terletak di 6 derajat LU – 11 derajat Lintang Selatan dan 95 derajat Bujur Timur – 141 derajat Bujur Timur dengan total luas wilayah dua juta kilometer persegi.
Dengan negara yang sangat luas dan berada di cross position, sehingga Indonesia terletak di posisi strategis, khususnya di perdagangan dan transportasi diperlukan penguasaan teknologi antariksa untuk mengambil objek dari angkasa luar.
Mencermati hal tersebut, Lembaga Bantuan Teknologi (LBT) bekerja sama dengan lembaga penerbangan dan antariksa negara (Lapan) menggelar forum grup diskusi (FGD) bertempat di kantor LBT Jakarta, Sabtu (21/3).
Dikarenakan kondisi menghindari penyebaran virus Corona (Covid 19), acara dibatasi tanpa peserta tetapi bisa secara langsung disaksikan melalui live streaming. Acara menghadirkan Ketua LBT KH Hasyim, Direktur Utama LBT Prasetyo Sunaryo, Humas Lapan Jasyanto, Bidang Sistem Utama Peroketan Lapan Heri Budi Wibowo, mantan Sekretaris Utama Lapan Bambang Kusumanto dan Iskandar sebagai moderator.
Prasetyo mengatakan dengan adanya FGD ini, bisa diinformasikan kepada masyarakat luas tentang potensi-potensi yang perlu dikembangkan yang dimiliki bangsa Indonesia. “Kita harus tau bagaimana mengelola aset ruang angkasa yang harus berintegrasi dengan darat dan laut. Misalnya kita tidak lagi baru mencari lokasi ikan di laut, tetapi sudah mengarah ke titik banyaknya ikan berkumpul yang akan ditangkap nelayan kita,” kata Prasetyo.
Sementara Heri Budi Wibowo mengatakan penguasaan teknologi antariksa menjadi syarat untuk dapat memajukan Indonesia melalui industri 4.0. “Indonesia ingin menjadi negara maju, maka kembangkan industri 4.0 ysng sudah ada,” kata Heri.
Namun, digitalisasi terjadi di setiap aspek kehidupan di masa depan, di mana teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang bergantung pada satelit semakin kuat berperan. Sehingga tidak bisa terlepas dari teknologi antariksa.
Indonesia sudah memiliki satelit komunikasi yang dimiliki Telkom, sedangkan Lapan memiliki satelit surveillance. Namun, belum ada satelit khusus untuk navigasi. “Dengan posisi strategis Indonesia tepat di garis khatulistiwa sayangnya belum mampu memanfaatkan dan menguasai secara maksimal ruang angkasa yang dimiliki,” pungkas Heri.
Sementara itu, Bambang Kusumanto mengatakan dengan rentang lanskap Indonesia yang begitu luas sepanjang khatulistiwa tentu sangat strategis. Sedangkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan disebutkan ruang angkasa yang dimaksud merupakan milik umum.
“Pertanyaannya sejauh mana negara punya teknologi antariksanya. Yang saya tahu hanya ada empat satelit di Indonesia, sementara Singapura yang luas negaranya hanya setitik saja dalam peta pula puluhan satelit yang mengorbit dì khatulistiwa,” kata Bambang.
Jasyanto mengatakan, pembangunan Bandar Antariksa memang membutuhkan biaya besar perhitungan yang cermat, karena itu akan melibatkan pihak swasta untuk pembangunannya.
“Sebab itu, Lapan terus melakukan sosialisasi terkait rencana pembangunan Bandar Antariksa ini, sekaligus mencari investor untuk pembangunannya,” tutur Jasyanto.
Untuk tempat, ia menerangkan hasil survei ada beberapa tempat untuk Bandar Antariksa ini, seperti Pulau Morotai, Bengkulu, Ternate dan Biak, dan dipilih Biak karena letaknya berdekatan dengan pantai.
“Insya Allah tahun 2040 Indonesia akan memiliki Bandar Antariksa yang akan dioperasikan di Biak. Klau Papua terkenal dengan Mutiaranya, Biak nantinya terkenal dengan pulau antariksa,” pungkasnya.(pelita).