Jakarta,Beritakotanews.com: Hasil survey indeks KUB nasional tahun 2019 yang dirilis oleh Kementarin Agama RI menempatkan Provinsi DKI Jakarta diurutan ke 27 dari 34 Provinsi dianggap tidak masuk akal oleh Pdt. Manuel E Raintung dari PGIW DKI Jakarta. Nilai indeks KUB DKI Jakarta dibawah nilai rata-rata nasional 73,83, tidak sesuai dengan fakta dilapangan.
“Provinsi DKI Jakarta mendapat nilai indeks sebesar 71,3. Sementara, urutan pertama ditempati Provinsi Papua Barat dengn nilai indeks KUB sebesar 82,1 dan urutan kedua provinsi Papua 79,0, ini nemu angka dari mana?,”ujar Manuel.
Ketua PGIW Jakarta – Pdt. Manuel E. Raintung tidak sependapat dengan hasil survey Puslitbang Bimas agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI yang memberikan nilai KUB DKI Jakarta dibawah nilai rata-rata nasional Karena bertolak dengan kondisi riel kita di Jakarta.
“Saya tidak sependapat hasil survey, karena bertolak dengan kondisi riel kita di Jakarta”
Manuel Raintung berpendapat, bahwa KUB di DKI Jakarta cukup terukur tingkatan toleransi maupun kehidupan antar umat. Ini adalah pengalaman nyata dalam setahun ini. Bahkan Jakarta cukup teruji dalam PILEG DAN PILPRES 2019 yang konon marak dengan isyu agama. Jika ada terjadi demontrasi itu hal yang biasa dan tergolong demokratis.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh kelembagaan antar umat maupun Forum Kerukunan cukup memadai untuk menciptakan kedewasaan umat dalam berkeyakinan. Memang ‘psywar’ terutama melalui media sosial cukup luar biasa namun kita tidak melihat di daratan adanya kekacauan dan kekisruhan, lanjutnya.
Manuel Raintung yang juga selaku wakil sekretaris FKUB Provinsi DKI Jakarta berpendapat bahwa hasil survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2019 yang dirilis Kementerian Agama merupakan temuan survei yang perlu diurai indikasinya.
“Seharusnya hasil riset harus disesuaikan dengan fakta. Jika ada dinamika kehidupan di Jakarta itu sangat wajar tetapi belum ada terdengar adanya kekacauan atau perseteruan antar umat di DKI Jakarta”.
Mungkin indeks KUB yang disurvei Kemenag untuk mengukur persepsi masyarakat tentang indikator-indikator kerukunan, yaitu: toleransi, kesetaraan, dan kerjasama perlu disesuaikan dengan konteks wilayah. Karena Jakarta tentu beda dengan wilayah Jawa Barat atau Sulawesi Utara atau juga bahkan Papua. Kita harus melihat dari kondisi psikososial masyarakat sebagai hasil dari realitas pengalaman sehari-hari dalam interaksi antar sesama pemeluk agama.
“Skor indeks akan tinggi ketika masyarakat (responden) tidak ada sedikitpun resistensi pada konsep yang ditanyakan. Sebaliknya, indeks akan rendah ketika banyak masyarakat suatu daerah yang resisten atas item-item yang dipertanyakan,”
Secara positif hasil indeks KUB bisa dipakai sebagai fungsi untuk menentukan tindakan pemberdayaan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah juga Kanwil Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas kerukunan umat. Menurut saya, temuan ini bisa dimanfaatkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan FKUB sebagai bahan dalam menentukan kebijakan2 di waktu yang akan datang.
Diakhir tahun 2019.ini Jakarta cukup kondusif koq. Gereja-gereja di Jakarta sudah memaksimalkan peran dan partisipasinya dalam membangun kesejahteraan bersama untuk menguatkan bangsa, pungkasnya.(fkub/budi)