Opini :
Membangun Perdamaian Dunia dengan Semangat Konferensi Asia Afrika
Menyalakan kembali api kerukunan antarbangsa di tengah gejolak global
Oleh: Thonang Effendi*
Di tengah dunia yang masih bergolak oleh konflik antarnegara—baik yang bersifat ideologis, ekonomi, maupun politik—semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung kembali menemukan relevansinya. Perang Rusia-Ukraina, konflik Palestina-Israel, serta ketegangan antarnegara di kawasan Asia dan Eropa menunjukkan bahwa perdamaian masih menjadi cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Indonesia, sebagai pelopor KAA, memiliki warisan nilai yang sangat berharga untuk ditawarkan kepada dunia.
Semangat Bandung dan Dasasila yang Mendunia
Konferensi Asia Afrika merupakan momentum penting yang mempertemukan negara-negara Asia dan Afrika pascakolonial untuk menjalin kerja sama dalam bingkai solidaritas dan perdamaian. Dalam pidato pembukaan, Presiden Soekarno menekankan bahwa KAA bukan sekadar pertemuan politik, tetapi sebuah pernyataan kemanusiaan global:
“Kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang baru merdeka, ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.”
Konferensi ini melahirkan Dasasila Bandung, yang berisi sepuluh prinsip dasar hubungan internasional yang damai dan saling menghargai, antara lain:
- Menghormati hak-hak asasi manusia,
- Menghormati kedaulatan dan integritas wilayah,
- Penyelesaian sengketa secara damai,
- Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain,
- Kerja sama untuk kepentingan bersama.
Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi bagi Gerakan Non-Blok dan menjadi inspirasi dalam pembangunan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Relevansi Global di Era Modern
Akademisi dari Undip, Prof. Singgih Tri Sulistiyono menegaskan bahwa semangat KAA tetap relevan. Menurutnya, kerja sama internasional harus bertumpu pada kemanusiaan dan keadilan, bukan dominasi ekonomi atau militer. Negara-negara Asia dan Afrika masih memiliki peluang besar untuk membangun jaringan solidaritas yang kokoh di tengah dunia multipolar saat ini.
KAA mengajarkan bahwa perbedaan latar belakang bukanlah hambatan untuk bersatu, melainkan kekuatan untuk membangun masa depan bersama.
Kerukunan Antarbangsa Berakar dari Karakter Individu
Perdamaian antarbangsa tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari budaya kerukunan yang dibangun dalam masyarakat. Dalam konteks ini, nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menjadi sangat relevan. Salah satu komponen penting dari 29 karakter luhur yang dikembangkan LDII adalah “5 Syarat Kerukunan”, yaitu:
- Berbicara yang baik – pahit madu, enak didengar, sopan santun, tata krama, unggah-ungguh dan papan empan adepan – menjaga komunikasi yang sehat dan tidak menyakiti.
- Bisa dipercaya dan mempercayai, memiliki sifat jujur dan amanah – membangun kepercayaan sebagai dasar hubungan.
- Sabar, keporo ngalah dan rebutan ngalah – tidak mudah tersulut emosi dan mengedepankan musyawarah.
- Tidak merusak sesama (diri, harta, hak asasi dan kehormatan) – mengakui dan menjunjung tinggi martabat dan hak orang lain.
- Saling memperhatikan dan menjaga perasaan – sikap empati yang penting untuk membangun hubungan harmonis.
Kelima prinsip ini dapat dijadikan panduan bukan hanya dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga dalam diplomasi dan hubungan antarbangsa. Negara-negara yang dipimpin oleh karakter-karakter luhur ini akan lebih mudah menjalin kerja sama yang saling menghormati dan menguntungkan.
Indonesia dan Peran Global untuk Perdamaian
Sebagai tuan rumah KAA 1955 dan negara yang menganut politik bebas aktif, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk terus menyuarakan perdamaian dunia. Dengan menginternalisasi kembali semangat Dasasila Bandung dan menerapkan nilai-nilai karakter luhur dalam kehidupan berbangsa, Indonesia dapat memainkan peran strategis sebagai penjembatan antarbangsa, penjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan penggerak diplomasi perdamaian. “Kita tidak harus menjadi negara besar untuk berbuat besar bagi dunia. Kita cukup konsisten menjadi bangsa yang menjunjung nilai-nilai luhur dan mempraktikkannya dengan nyata.”
Dari Bandung untuk Dunia
Konferensi Asia Afrika adalah warisan besar yang tak lekang oleh waktu. Nilai-nilai yang lahir dari Bandung tahun 1955 tetap relevan dalam menjawab tantangan global hari ini. Dengan membangun kerukunan dari individu, keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan antarbangsa, kita bisa mewujudkan cita-cita besar: dunia yang damai, adil, dan sejahtera.
Mari kita warisi semangat Bandung tidak hanya dalam pidato, tapi dalam tindakan. Kita mulai dari lingkungan terdekat, hingga membawa nilai itu melintasi batas negara.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Karakter Generasi Bangsa