BRICS Bukan Panggung Simbolik, Tapi Ujian Visi Indonesia

Oleh: Rioberto Sidauruk*   Pemerhati Hubungan Internasional

Sebagian negara BRICS seperti Rusia, Tiongkok, dan India datang ke KTT di Brasil dengan membawa pengaruh besar—baik dari sisi ekonomi maupun kekuatan militer. Mereka punya senjata, infrastruktur strategis, bahkan kekuasaan veto dalam berbagai forum internasional.

Indonesia tidak membawa itu. Kita tidak punya senjata nuklir. Kita juga bukan kekuatan militer atau teknologi global. Tapi bukan berarti kita tidak punya yang bisa ditawarkan.

Presiden Prabowo, dalam KTT BRICS kali ini, membawa pendekatan berbeda. Indonesia tampil sebagai penghubung. Sebagai bridge-builder yang menjembatani negara maju dan berkembang, menyuarakan pentingnya kerja sama Selatan-Selatan, serta memperkuat tata dunia yang lebih setara.

Bukan hanya retorika, Indonesia menyiapkan 77 proyek prioritas—mulai dari pelabuhan, energi terbarukan, hingga infrastruktur dasar—untuk didorong melalui pembiayaan dari New Development Bank (NDB). Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa keanggotaan BRICS di era Prabowo tak akan berhenti di seremoni politik luar negeri, tapi diarahkan pada manfaat pembangunan.

Di saat bersamaan, pemerintah juga tengah mendorong pembentukan bullion bank dan sovereign wealth fund skala besar. Ini bukan hanya terobosan fiskal, tetapi menunjukkan upaya Indonesia membangun kekuatan ekonomi dari dalam—tidak sekadar menjadi mitra pasif dari kekuatan global.

Namun tentu tantangan tetap besar. BRICS bukanlah forum yang sepenuhnya setara. Tiongkok punya dominasi. Kepentingan tiap anggota di sektor energi, pangan, dan teknologi bisa tumpang tindih. Tanpa strategi cermat, Indonesia bisa kembali terjebak dalam peran sebagai pelengkap statistik.

Dalam negeri, upaya memperkuat kemandirian fiskal juga masih berjalan. Pajak digital menjadi salah satu instrumen penting. Tapi implementasinya harus hati-hati. UMKM, petani, dan pekerja informal yang baru terhubung ke ekosistem digital tidak boleh ikut terbebani. Sasaran sesungguhnya adalah raksasa teknologi global yang selama ini meraup untung besar dari pasar Indonesia tanpa kontribusi yang seimbang.

Di kancah internasional, solidaritas negara berkembang—Global South—masih sering terdengar dalam pidato, tapi minim pada aksi nyata. Isu utang, transisi energi, perdagangan adil, dan alih teknologi masih belum memiliki forum konkret. Di sinilah Indonesia punya ruang untuk unjuk peran: tak hanya hadir, tapi memimpin.

Lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO makin jauh dari semangat inklusif. Kuota dan keputusan masih dikuasai negara-negara kaya. Reformasi tidak bisa ditunda lagi. Indonesia sebagai anggota G20 dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara memiliki modal politik untuk bersuara lebih keras, lebih jujur, lebih berani.

Di tengah dunia yang bergerak ke arah multipolaritas, unilateralisme, dan proteksionisme, langkah kita tak boleh setengah hati. Tantangan-tantangan global membutuhkan kepemimpinan yang berpihak pada keseimbangan, keadilan, dan kerja sama. BRICS bisa menjadi wadah bagi itu—jika benar-benar dimanfaatkan secara strategis.

Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apa yang bisa diberikan BRICS kepada Indonesia?”, melainkan: “Apa yang bisa Indonesia tawarkan kepada dunia lewat BRICS?”
Indonesia tidak datang membawa senjata. Tapi kita datang membawa visi. Dan dalam dunia yang kian terpolarisasi, visi itulah yang lebih dibutuhkan. (r10).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *