Opini:

E-Government Optimalisasi Layanan Publik Melalui Digital Signature

Oleh:

H.Ibnu Anwarudin. ASN pada Kementerian Agama RI, Pemerhati Kebijakan Publik.

Wabah Covid-19 telah memaksa masyarakat membangun sekat-sekat interaksi. Kendati tidak sampai pada titik segregatif, pembatasan sosial cukup menjadikan hubungan antarindividu tak lagi lekat. Perlu kesadaran kolektif agar wabah tidak terus mencuat. Bekerja dari rumah pilihan tepat, meski begitu layanan publik tak boleh terhambat. 

Kebijakan pembatasan sosial dapat disikapi sebagai tantangan sekaligus peluang. Dalam hal ibadah, contohnya, setiap diri dapat merasakan peningkatan kesalehan individu yang berpeluang menciptakan situasi saling kontrol sesama anggota keluarga. Sementara itu, banyak ide kreatif dan solutif yang muncul dalam aktifitas pekerjaan, yang membuat pegawai menjadi lebih produktif. 

Jika dihitung-hitung sudah hampir 2 bulan lamanya pemerintah menetapkan kebijakan bekerja dari rumah bagi ASN atau populer disebut work from home (WFH). WFH ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menpan RB Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja ASN dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah pada 16 Maret 2020. 

Banyak pihak yang tergagap dengan penerapan kebijakan WFH khususnya dalam pelayanan publik. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar K/L pemerintahan belum sepenuhnya menyiapkan diri dalam implementasi sistem e-Government. E-Governmet sendiri bukanlah kebijakan baru dalam manajemen pemerintahan. Jauh hari sebelum Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) terbit, Presiden RI Megawati Soekarno Putri pernah menerbitkan Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. 

Inpres tersebut lah sejatinya yang mengawali langkah progresif penyelenggaran sistem pemerintahan dalam perspektif e-Government. Sasaran utama e-Government saat itu adalah peningkatan layanan publik yang lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.  Pemerintah pusat dan pemda didorong untuk mengintegrasikan dan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem manajemen pemerintahan secara holistik. 

Digital Signature

Pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi Elektronik (UU ITE). Salah satu spirit dari UU ini adalah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak privat dari bahaya penyalahgunaan teknologi informasi. Selain itu, UU ITE juga untuk merespon perubahan kegiatan masyarakat dalam berbagai bidang yang secara langsung memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Salah satu perbuatan hukum baru tersebut adalah yang berkaitan dengan maraknya transaksi elektronik dan kebutuhan pemanfaatan tanda tangan elektronik (digital signature). 

Dalam PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dinyatakan bahwa tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat autentifikasi dan verifikasi dalam transaksi elektronik. Tanda tangan digital dapat digunakan untuk menunjukkan persetujuan penanda tangan atas informasi dan/atau dokumen elektronik. Artinya, tanda tangan digital memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sah selayaknya tanda tangan manual.

Dalam satu dekade terakhir, transaksi elektronik dan pemanfaatan tanda tangan digital semakin marak. Bagai kembali menemukan momentum, kebijakan WFH untuk para pegawai baik swasta maupun pemerintah mendorong berbagai pihak untuk mengimplementasikan kebijakan layana berbasis digital.

Tanda tangan digital terbukti lebih mudah dan praktis. Di samping keamanannya yang terjaga, teknologi ini memungkinkan orang tidak perlu lagi melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mengejar sebuah tanda tangan. Tanda tangan digital juga dapat meminimalisir risiko pemalsuan dan nirsangkal. 

Tanda tangan elektronik memiliki berbagai macam bentuk, misalnya tangan yang discan, tanda tangan yang diinputkan ke alat elektronik, biometric/retina/sidik jari, barcode/QRcode, atau karakter unik seperti pin/password.  Ragam pilihan seperti ini memudahkan pengguna untuk menyesuaikan dengan kebutuhan. Namun demikian, perlu dicatat, tidak semua tanda tangan elektronik bersertifikasi. Tanda tangan yang tersertifikasi adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU ITE dan Pasal 42 PP PSTE. 

Tanda tangan digital bersertifikasi yang dimaksud adalah algoritma kriptografi, sejenis persandian yang terdapat dalam sertifikat elektronik. Tanda tangan digital memiliki kumpulan bit yang dapat melakukan fungsi elektronik yang memiliki fungsi hash satu arah. Fungsi hash satu arah akan menghasilkan nilai unik untuk setiap data yang dimasukkan. Oleh karena itu, jika ada perubahan satu bit saja pada konten dokumen, maka nilai hash yang dihasilkan akan berbeda. Nilai hash kemudian dienkripsi menggunakan private key yang akan menjadi nilai signature dari suatu dokumen.

Dokumen elektronik yang paling sering digunakan untuk tanda tangan digital adalah format PDF (Portable Document Format). PDF yang telah ditandatangani dengan tanda tangan elektronik dapat diverifikasi dengan berbagai aplikasi yaitu aplikasi Adobe Acrobat DC, modul verifikasi pada Web OSD, Aplikasi Panter Versi 2.0, dan Aplikasi Veryds.

Tanda tangan digital diamankan dalam sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik beserta identitas yang menunjukkan status subyek hukum para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik. Sejauh ini, di Indonesia ada 6 penyelenggara sertifikasi elektronik (ceritification authority/CA) yang memiliki license dari Ditjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, 3 diantaranya lembaga plat merah, yaitu BSSN, BPPT, dan PERURI.

Untuk mewujudkan tercapainya e-Government dan optimalisasi layanan publik secara terintegrasi, penting bagi kementerian/lembaga (K/L) untuk mengimplementasikan digital signature. Pada prinsipnya, dalam situasi apapun kegiatan layanan publik tetap harus berjalan secara optimal. 

Melihat perspektif urgensi, di momen PSBB dan WFH ini, saat yang tepat bagi satker-satker K/L yang mengelola banyak layanan publik menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga mitra tersebut. Dalam pandangan penulis, BSSN, BPPT, atau PERURI dapat bertindak secara cepat dalam merespon kerjasama layanan sertifikasi elektronik. Dan tidak perlu khawatir, layanan sertifikasi untuk lembaga plat merah gratis atau tidak dipungut biaya.