Menelisik Dwilogi Pidato Presiden Prabowo: Kenegaraan dan Pengantar RAPBN 2026
Oleh : Rioberto Sidauruk, Pemerhati Kebijakan Publik.
Tanggal 15 Agustus 2025 menjadi panggung bagi sebuah drama politik dua babak. Pagi harinya, Presiden mendeklarasikan perang ideologis melawan sistem yang dianggap timpang. Sorenya, Presiden mengungkap “mahar fiskal” Rp3.786,5 triliun sebagai amunisi perang tersebut. Sebuah pertaruhan raksasa dan proyek paling ambisius dalam sejarah republik baru saja dimulai.
Presiden membuka drama dengan diagnosis tajam: ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Praktik “serakahnomics” oleh pengusaha rakus disebut sebagai biang keladi. Solusinya? Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 untuk merebut kedaulatan ekonomi. Namun, menyalahkan segelintir pihak mungkin terlalu sederhana. Bukankah kegagalan negara membuat aturan dan pengawasan yang adil juga menjadi masalah utama? Tanpa dana besar, deklarasi perang hanyalah omong kosong.
*Mesin Uang Dinyalakan*
Amunisi triliunan rupiah terungkap di babak kedua. Visi besar diterjemahkan menjadi angka-angka fantastis. Mesin uang negara diarahkan untuk mendanai revolusi. Tiga alokasi terbesar menjadi fondasinya: Rp757,8 triliun untuk Pendidikan, Rp402,4 triliun untuk Energi, dan Rp335 triliun untuk Makan Bergizi Gratis (MBG). Angka-angka tersebut bukan sekadar belanja biasa, melainkan investasi langsung untuk rakyat. Tujuannya jelas, melawan sistem yang timpang. Namun, gelontoran dana sebesar itu juga membuka celah korupsi dan pemborosan yang luar biasa besar.
Pertarungan demi ekonomi adil dieksekusi lewat anggaran. Pemerintah berani melakukan intervensi langsung. Rantai distribusi yang panjang coba dipotong lewat 80.000 Koperasi Desa. Kedaulatan pangan didukung dana Rp164,4 triliun untuk Bulog dan subsidi pupuk. Dengan memangkas birokrasi dan penyaluran langsung, model lama yang rawan korupsi diharapkan bisa diatasi. Setiap rupiah APBN 2026 punya tujuan jelas, dan dengan kemauan politik kuat, eksekusinya akan dikawal ketat.
*Risiko di Balik Angka*
Setiap pertaruhan besar pasti ada risikonya. Harga dari ambisi tersebut adalah defisit anggaran Rp638,8 triliun. Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan beban utang nyata bagi anak cucu kita, lengkap dengan bunganya. Seluruh rencana megah ini dibangun di atas asumsi ekonomi yang sangat optimistis: pertumbuhan 5,4% dan kurs Rp16.500 per dolar. Asumsi tersebut terasa rapuh menghadapi gejolak pasar global. Pertanyaannya bukan lagi apakah target akan tercapai, tapi apa rencana cadangan jika target meleset?
Pemerintah sepertinya memakai strategi terapi kejut. Dana triliunan akan digelontorkan bukan untuk sistem yang pasif, tapi untuk memaksa perubahan. Sadar bahwa reformasi birokrasi butuh waktu lama, anggaran besar dipakai sebagai alat pendobrak. Dengan kemauan politik dari atas, para pejabat didorong menjadi bagian dari solusi. Jika diawasi ketat dan hukum ditegakkan, gelontoran dana tersebut bisa menjadi energi pendorong reformasi, bukan malah jadi bancakan korupsi.
Pada akhirnya, pemerintah sadar memilih jalan terjal yang bisa mengubah segalanya. Bukan pertaruhan buta, melainkan kalkulasi strategis dengan risiko dan imbalan besar. Gagal memang berbahaya, tapi potensi berhasilnya jauh lebih besar: sebuah lompatan menuju kemakmuran. Semua kartu sudah diletakkan di meja sebagai ajakan gotong royong bagi seluruh bangsa. Pertanyaannya bukan lagi “apakah kita akan berhasil?”, tapi “bagaimana kita bersama-sama mewujudkan keberhasilan?”. Seluruh bangsa kini dipanggil untuk mengawal agar mahar triliunan tersebut benar-benar menjadi jembatan emas menuju kemakmuran.