Opini
Idul Adha dan Harmoni Sosial: Dari Kurban Menuju Kegembiraan Bersama
Oleh : Thonang Effendi*
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran Ibu Kota, satu keluarga kecil duduk melingkar menikmati hidangan sate daging kurban. Asap tipis dari panggangan masih tersisa, aroma rempah dan kecap meresap ke dalam daging yang empuk. Tawa anak-anak mewarnai suasana, sementara sang ayah bercerita tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dengan nada yang hangat. Dari dapur, sang ibu membawa sepiring sambal kecap dan lontong yang dibungkus daun pisang. Satu keluarga tertawa bersama. Semua sederhana, tetapi terasa sempurna.
Momen seperti ini bukan hanya tentang makan bersama. Ia adalah gambaran kecil dari kegembiraan yang lahir dari berbagi. Daging kurban yang dibagikan di kampung, kompleks perumahan, dan gang-gang sempit, menyentuh begitu banyak hati dan perut. Sebagian keluarga yang menerima mungkin hanya bisa menikmati daging satu atau dua kali dalam setahun. Maka, kedatangan daging kurban bukan sekadar pemberian—ia adalah bentuk cinta dan perhatian.
Dalam Islam, kurban bukan sekadar ritual menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan dan keikhlasan. Sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, kurban adalah tentang menundukkan ego dan memenuhi perintah Allah. Dalam konteks sosial, kurban adalah jembatan kasih sayang antar sesama. Yang mampu berkurban dan berbagi dengan ikhlas, sementara yang menerima merasakan gembira dan bersyukur.
Kegembiraan dalam berbagi inilah yang menjadi poin penting dari kurban. Ketika semangat ini tumbuh di tengah masyarakat, akan lahir harmoni. Tidak ada sekat antara aghnia dan dhuafa, antara yang memberi dan yang menerima. Yang ada hanyalah rasa kebersamaan.
Nilai-nilai luhur ini sejalan dengan karakter 6 Thobiat Luhur yang dikembangkan dalam pendidikan karakter LDII. Dalam kurban, nilai rukun tercermin dari kebersamaan panitia dan warga yang saling membantu. Nilai kompak terlihat dalam kerja sama panitia, mulai dari penyembelihan, penimbangan, hingga distribusi. Nilai kerja sama yang baik pun tampak dalam koordinasi antarwarga dan relawan.
Di beberapa majelis taklim, bahkan anak-anak kecil sudah dibiasakan untuk ikut berpartisipasi. Mereka menabung dengan menyisihkan sebagian uang saku harian, lalu patungan untuk membeli kambing kurban bersama. Ketika mereka konsisten menabung dari menyisihkan sebagian uang jajan, lalu melihat hewan kurban hasil gotong royong mereka disembelih, tumbuhlah rasa haru dan bangga dalam hati mereka. Di situlah nilai karakter Mujhid-Muzhid (kerja keras dan hidup hemat) mulai ditanamkan sejak dini.
Berbagi daging kurban adalah salah satu cara paling nyata untuk menyuburkan semangat solidaritas dan kepekaan sosial. Ia mengajarkan empati, membangun ukhuwah, dan memperkuat jalinan antarsesama. Ketika kebiasaan ini ditanamkan sejak kecil, kelak akan tumbuh generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga peduli.
Akhirnya, dari sekantong daging yang dibagikan, tumbuhlah cinta, syukur, dan persaudaraan. Karena sejatinya, kurban selain tentang menyembelih hewan, juga tentang menghidupkan hati. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, Idul Adha menjadi pengingat bahwa berbagi adalah salah satu bentuk tertinggi dari kebahagiaan.
*Penulis: Thonang Effendi. Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII. Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Karakter Generasi Bangsa.