Opini
22 Tahun Mahkamah Konstitusi: Sang Penentu Batas Kuasa
Oleh: Rioberto Sidauruk – Dosen Hukum Acara Konstitusi STIH Gunung Jati Tangerang
Pada 13 Agustus 2003, di tengah gemuruh reformasi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) lahir. Kini, di usia 22 tahun, MK mengawal demokrasi Indonesia dengan putusan-putusan esensial. Bukan sekadar gedung megah, MK adalah jantung yang berdenyut menjaga irama konstitusi. Amanat ini lahir dari rahim reformasi, memastikan tak ada lagi kekuasaan absolut.
Gagasan MK sudah ada sejak BPUPKI, namun terwujud setelah amandemen UUD 1945. Pasal 24C UUD 1945 jadi fondasi kokoh UU No. 24 Tahun 2003, diperkuat UU No. 8 Tahun 2011 dan UU No. 4 Tahun 2014. Kehadiran MK menjawab dahaga akan checks and balances, menyeimbangkan legislatif dan eksekutif, serta melindungi hak konstitusional warga dari regulasi tiran.
Anatomi Penjaga Utama
Sepanjang perjalanannya, MK menunjukkan kekuatan fundamental. Landasan konstitusionalnya tak terbantahkan, lahir langsung dari UUD 1945. Kewenangan jelas dan luas—dari menguji undang-undang hingga memutus sengketa pemilu—menempatkan MK sebagai pilar penting demokrasi. Pintu MK pun terbuka lebar bagi partisipasi publik, memungkinkan warga menuntut keadilan konstitusional.
Perbaikan melalui UU No. 8 Tahun 2011 dan UU No. 4 Tahun 2014 bukti komitmen MK untuk semakin kuat. Penguatan etik dan pengawasan internal lewat pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), serta perbaikan mekanisme rekrutmen hakim, adalah langkah konkret menjaga integritas dan independensi.
Namun, kelemahan juga mengemuka. Potensi keterlibatan politik dalam rekrutmen hakim, meski diatur ulang, tetap jadi bayangan. Penunjukan oleh Presiden, DPR, dan MA bisa menyisakan celah intervensi yang mencederai independensi. Isu etik dan moralitas hakim pernah jadi noda, menunjukkan kerapuhan yang harus terus diwaspadai. Selain itu, tafsir hukum yang terkadang bersifat subjektif dapat memicu perdebatan, dan ketiadaan mekanisme pemakzulan hakim yang komprehensif masih jadi pekerjaan rumah.
Ujian dan Asa
Di balik segala dinamikanya, MK terus membuka peluang besar. Ia katalisator pengukuhan supremasi konstitusi di setiap jengkal kehidupan bernegara, serta garda terdepan perlindungan hak asasi manusia. Putusan MK juga menjadi ladang subur pengembangan yurisprudensi konstitusi, pijakan bagi generasi mendatang. Dengan MK, kualitas legislasi terdorong naik, dan ini dorongan kuat bagi peningkatan akuntabilitas lembaga negara lainnya.
Namun, ancaman tak pernah absen. Erosi kepercayaan publik akibat kontroversi adalah bahaya nyata yang dapat menggerus legitimasi. Intervensi kekuatan politik akan selalu mengintai, berusaha membengkokkan putusan demi kepentingan sesaat. Lemahnya sinergi antarlembaga peradilan dapat memicu konflik yurisdiksi, dan penyalahgunaan proses judicial review untuk kepentingan pragmatis dapat membebani MK.
Dengan segala dinamika tersebut, apa yang sesungguhnya diharapkan rakyat Indonesia dari Mahkamah Konstitusi di usianya yang ke-22 ini?
Pertama, independensi dan integritas yang terjaga penuh. Rakyat mendambakan hakim konstitusi negarawan, bebas dari belenggu politik dan pribadi. Sistem pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat agar peristiwa pahit tak terulang.
Kedua, konsistensi dalam menegakkan konstitusi. Putusan haruslah lahir dari penafsiran mendalam dan progresif, bukan dari tekanan sesaat. MK harus menjadi mercusuar kepastian hukum.
Ketiga, perlindungan hak konstitusional warga negara yang lebih kuat. MK harus menjadi suara bagi yang tak bersuara, membela hak-hak dasar rakyat kecil, dan memastikan keadilan substansial selalu menjadi prioritas.
Keempat, transparansi dan akuntabilitas yang ditingkatkan. Proses persidangan terbuka, kemudahan akses informasi, dan mekanisme pertanggungjawaban jelas akan mengikis keraguan dan membangun kembali kepercayaan.
Kelima, memperkuat peran sebagai penjaga demokrasi. Terutama dalam sengketa pemilu, MK adalah wasit terakhir yang harus memastikan setiap proses berjalan jujur dan adil, mencerminkan kehendak rakyat tanpa noda.
Makna Kehadiran MK: Perspektif Global
Eksistensi Mahkamah Konstitusi tak bisa dilepaskan dari konsep negara hukum modern. Hans Kelsen, arsitek Pengadilan Konstitusi di Austria, melihat MK sebagai inovasi penting dalam checks and balances. Ia berfungsi sebagai “legislator negatif”, membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, menjaga supremasi konstitusi, dan melindungi minoritas dari tirani mayoritas legislatif.
Dalam konteks lebih luas, Jürgen Habermas dengan konsep demokrasi deliberatif-nya melihat peran MK. Demokrasi deliberatif menekankan proses rasional dan partisipatif dalam pembentukan hukum, di mana keputusan diambil melalui argumen berorientasi konsensus. Habermas berpendapat, legitimasi hukum tidak hanya dari prosedur formal, tetapi juga dari kualitas deliberatif di ranah publik.
MK, dalam pandangan ini, adalah ruang penting bagi deliberasi publik yang lebih tinggi. Saat menguji undang-undang, MK membuka ruang bagi berbagai argumen dari masyarakat, ahli, dan pihak berkepentingan. Putusan MK, didasarkan pada penalaran konstitusional ketat, menjadi hasil proses deliberatif ini.
Ia bukan hanya memutuskan hukum, tetapi juga mengajak publik berdialog dan memahami rasionalitas konstitusional di balik suatu aturan. Dengan demikian, MK berkontribusi pada penciptaan konsensus konstitusional dan memperkaya kualitas deliberasi dalam demokrasi. Ia jembatan antara aspirasi politik dan prinsip dasar konstitusi.
Demikianlah, Mahkamah Konstitusi, yang lahir dari amanat reformasi pada 13 Agustus 2003, telah meniti dua dekade lebih. Ia adalah amanat penting, hadir sebagai jawaban atas dahaga akan checks and balances yang kuat dan pelindung hak konstitusional. Rakyat Indonesia, dengan segala harapannya, menantikan sang penjaga konstitusi ini akan terus mengukir sejarah dengan tinta keadilan, memastikan Republik ini tetap berdiri di atas fondasi konstitusi yang kokoh.