Daya Ungkit Palestina: Ketika Eropa Geser Arah

Oleh: Rioberto Sidauruk

Isu Palestina telah berkembang melampaui batas-batas regional, yang semakin memengaruhi tatanan global. [1] Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Eropa seperti Spanyol, Irlandia, dan Norwegia telah mengakui Palestina sebagai negara, sebuah langkah yang menandai pergeseran mendalam dalam sikap mereka terhadap Israel dan mencerminkan perubahan geopolitik yang lebih luas. [2] Negara-negara ini tidak hanya terpengaruh oleh opini publik tetapi juga oleh evolusi hubungan internasional yang semakin memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan global, sehingga meningkatkan tekanan internasional untuk resolusi konflik Israel-Palestina yang adil, bukan yang semata-mata didasarkan pada kekuatan politik. [3] [4] [5]

Secara umum, dukungan Eropa terhadap Palestina secara signifikan memengaruhi tatanan dunia multipolar, sebuah proses yang bertepatan dengan memudarnya dominasi geopolitik kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya. [6] [7] Penurunan pengaruh AS, ditambah dengan kebijakan luar negerinya yang semakin mengisolasi, membuka peluang bagi negara-negara Eropa untuk mengadopsi kebijakan yang lebih independen, yang mengilustrasikan keinginan Eropa untuk menetapkan kebijakan luar negeri yang berfokus pada hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan universal, memastikan hak-hak rakyat Palestina mendapatkan pengakuan global yang semestinya. [8] [9] 

Bersamaan dengan itu, Deklarasi New York, yang memperoleh dukungan internasional untuk Palestina, telah menciptakan momentum bagi perubahan dalam tatanan global, membangun kerangka kerja global yang lebih inklusif di mana negara-negara berkembang dan kelompok-kelompok terpinggirkan mendapatkan tempat yang layak dalam urusan internasional. [10] [11] Situasi ini memaksa kita untuk memahami bahwa Palestina bukan lagi hanya masalah Timur Tengah tetapi merupakan simbol perjuangan global yang lebih luas untuk keadilan dan hak asasi manusia, dengan solidaritas terhadap Palestina kini menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar yang memprioritaskan hak asasi manusia dan keadilan sosial dalam hubungan internasional, mengingat semakin banyaknya negara yang mendukung pengakuannya sebagai negara merdeka. [12] [13]

Indonesia dalam Konteks Global

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, memegang posisi unik di panggung internasional, karena telah lama mendukung kemerdekaan Palestina dan menganjurkan solusi dua negara untuk konflik tersebut. [14] [15] Kini, dengan semakin banyak negara Eropa yang mengakui Palestina, Indonesia memiliki peluang signifikan untuk memperkuat posisi diplomatiknya dan menjadi lebih aktif dalam mendorong diplomasi Selatan-Selatan, dengan tujuan memperluas dukungan global bagi Palestina. [16] [17]

Sebagai anggota G20 dengan pengaruh diplomatik yang besar, Indonesia memiliki legitimasi moral dan politik yang kuat untuk menjembatani kepentingan dunia Barat dan dunia Islam, memainkan peran penting dalam berbagai forum internasional seperti PBB, ASEAN, dan OKI untuk terus mengadvokasi pengakuan global bagi Palestina. [18] [19] Indonesia dapat memperkuat suaranya di antara negara-negara berkembang dan membangun jaringan diplomatik yang lebih luas untuk memfasilitasi solusi damai bagi Palestina, sehingga mengukuhkan posisinya sebagai promotor aktif perdamaian dan keadilan serta memainkan peran yang lebih signifikan dalam mendorong rekonsiliasi dan dialog di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. [20] [21] Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina di berbagai forum internasional regional dan global. [22]

Peran Indonesia juga relevan dengan kebijakan luar negerinya, yang berorientasi pada pembangunan perdamaian yang lebih inklusif berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. [23] Dalam konteks ini, Indonesia dapat memperkuat perannya sebagai pendorong utama diplomasi global yang tidak hanya berfokus pada kepentingan politik tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan dan keamanan manusia, karena sikap netralnya, yang tidak berpihak pada blok geopolitik besar, memungkinkannya menjadi mediator yang efektif dalam konflik internasional, termasuk masalah Palestina. [24] [25]

Pergeseran Geopolitik Global

Pergeseran sikap beberapa negara Eropa terhadap Palestina bertepatan dengan perubahan signifikan dalam geopolitik global, di mana tatanan internasional, yang telah lama dipengaruhi oleh dominasi AS, saat ini menghadapi gejolak besar. [26] [27] Invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, dan berbagai krisis di Timur Tengah menunjukkan bahwa sistem keamanan global yang ada tidak lagi stabil, yang menggarisbawahi bahwa tatanan dunia yang didominasi oleh kekuatan besar sedang terkikis dan digantikan oleh sistem multipolar yang lebih beragam dan fleksibel. [28] [29] Oleh karena itu, dukungan terhadap Palestina kini menjadi bagian penting dari upaya membangun tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang. [30]

Perubahan posisi Eropa terhadap Palestina bukan sekadar pergeseran kebijakan luar negeri; ini juga menandakan bahwa standar ganda terkait hak asasi manusia sedang dipertanyakan, yang tercermin dalam upaya Eropa untuk menyusun narasi yang lebih independen yang menekankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum internasional. [31] [32] Dengan demikian, sikap Eropa mengindikasikan perubahan besar dalam tatanan internasional, yang semakin menekankan keadilan dan konsistensi dalam mematuhi hukum global. [33] Di sisi lain, dinamika ini juga menyoroti semakin pentingnya institusi internasional dalam menjaga legitimasi global, karena organisasi seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB kini lebih tegas dalam mengutuk pelanggaran hukum internasional, bahkan oleh kekuatan besar sekalipun. [34] [35] Kesadaran ini lebih lanjut menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina adalah bagian dari gelombang moral internasional yang mengadvokasi konsistensi dalam membela keadilan. [36]

Peran Global ASEAN

Pergeseran geopolitik global yang semakin multipolar ini memberikan ruang lebih besar bagi negara-negara Asia Tenggara untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam urusan internasional. [37] ASEAN, meskipun belum menunjukkan sikap kolektif yang tegas mengenai Palestina, memegang potensi signifikan untuk berfungsi sebagai jembatan diplomatik di antara berbagai kekuatan global utama. [38] Dengan memperkuat kerja sama di antara negara-negara berkembang, ASEAN dapat memperkuat suaranya dalam mengadvokasi perdamaian global, dengan menekankan pentingnya pengakuan hak asasi manusia dan keadilan sosial. [39]

Prinsip-prinsip dasar ASEAN, seperti non-intervensi dan dialog damai, memposisikannya sebagai aktor yang mampu memfasilitasi diskusi dan diplomasi multi-jalur, tidak hanya di dalam kawasan tetapi juga dalam isu-isu internasional. [40] Di tengah ketegangan geopolitik global, ASEAN dapat memperkuat solidaritas regional dengan mendukung pengakuan Palestina secara lebih jelas dan substantif, sebuah dukungan yang akan menjadi lebih relevan jika ASEAN mengadopsi pendekatan keamanan manusia dalam kebijakan luar negerinya, dengan menekankan perlindungan warga sipil yang terkena dampak konflik, yang sangat penting mengingat dampak kemanusiaan yang sedang berlangsung dari konflik Israel-Palestina. [41] [42] [43]

Dengan membangun solidaritas dan memperkuat konsensus internal, ASEAN dapat menunjukkan bahwa kawasan ini tidak hanya berfokus pada stabilitas regional tetapi juga aktif dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil. [44] Hal ini membuka peluang bagi ASEAN untuk memainkan peran yang lebih besar dalam membangun identitas baru sebagai aktor global yang bertanggung jawab yang mempromosikan keadilan dan perdamaian internasional, dengan perannya menjadi semakin relevan jika kawasan ini dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara anggotanya dalam mengatasi tantangan global yang semakin kompleks. [45] [46]

Catatan Kaki

  1. Pengamatan umum. Untuk argumen rinci, lihat, misalnya, John Mearsheimer dan Stephen Walt, The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (Farrar, Straus and Giroux, 2007).
  2. Laporan dari media berita utama mengkonfirmasi pengakuan ini. Lihat, misalnya, “Spain, Ireland and Norway to formally recognise Palestinian state,” The Guardian, 28 Mei 2024, https://www.theguardian.com/world/article/2024/may/28/spain-ireland-and-norway-formally-recognise-palestinian-state.
  3. Pergeseran ini dianalisis dalam berbagai komentar geopolitik. Lihat, misalnya, artikel di Foreign Affairs tentang pergeseran kebijakan luar negeri Eropa.
  4. Peran opini publik dalam kebijakan luar negeri dieksplorasi dalam, misalnya, Richard C. Eichenberg, “Public Opinion and European Security Policy,” International Organization 47, no. 1 (1993): 23-64.
  5. Bangkitnya hak asasi manusia dalam hubungan internasional dibahas dalam Jack Donnelly, “Human Rights, Global Governance, and the New Multilateralism,” Global Governance 2, no. 1 (1996): 23-38. Seruan internasional yang berkembang untuk resolusi yang adil dilaporkan secara luas oleh organisasi hak asasi manusia dan PBB. Lihat laporan dari Amnesty International atau Human Rights Watch.
  6. Dampak tindakan Eropa terhadap multipolaritas adalah tema utama dalam teori hubungan internasional kontemporer. Lihat, misalnya, artikel di International Security atau Foreign Policy.
  7. Diskusi tentang menurunnya dominasi geopolitik AS lazim terjadi. Lihat, misalnya, Charles A. Kupchan, No One’s World: The West, the Rising Rest, and the Coming Global Disorder (Oxford University Press, 2012).
  8. Pergeseran kebijakan luar negeri AS dan dampaknya terhadap sekutu dianalisis dalam, misalnya, Daniel S. Hamilton dan Angela Stent, “The New Atlanticism,” Survival 63, no. 1 (2021): 27-52.
  9. Penekanan Eropa pada hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan tercermin dalam pernyataan diplomatik dan pola pemungutan suara mereka di PBB.
  10. Deklarasi dan resolusi spesifik di PBB, yang seringkali berasal dari kantor pusatnya di New York, secara kolektif membentuk momentum ini. Rujuk Resolusi Majelis Umum PBB tentang Palestina, tersedia di UNISPAL (United Nations Information System on the Question of Palestine).
  11. Pengejaran kerangka kerja global yang lebih inklusif adalah tujuan dari berbagai inisiatif PBB dan upaya kerja sama Selatan-Selatan.
  12. Pembingkaian Palestina sebagai simbol perjuangan global ini umum dalam advokasi dan beasiswa hubungan internasional yang kritis.
  13. Semakin banyaknya negara yang mendukung pengakuan Palestina adalah tren yang dapat diverifikasi. Lihat pengumuman diplomatik dan catatan pemungutan suara di PBB.
  14. Posisi demografi dan geopolitik unik Indonesia diakui secara luas. Lihat analisis geopolitik Asia Tenggara.
  15. Dukungan lama Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina adalah landasan kebijakan luar negerinya. Lihat, misalnya, Bilveer Singh, Indonesia’s Foreign Policy: The Diplomacy of Sukarno, Suharto, and Beyond (World Scientific, 2013).
  16. Peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan posisi diplomatiknya adalah subjek analisis kebijakan luar negeri oleh think tank Indonesia dan badan pemerintah.
  17. Peran aktif Indonesia dalam diplomasi Selatan-Selatan dirinci dalam publikasi dan pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri.
  18. Peran Indonesia sebagai jembatan antara dunia Barat dan dunia Islam adalah aspek kebijakan luar negerinya yang sering dibahas. Lihat, misalnya, penelitian tentang diplomasi G20.
  19. Advokasi Indonesia di forum internasional didokumentasikan dengan baik dalam catatan PBB, ASEAN, dan OKI.
  20. Upaya Indonesia untuk memperkuat suara negara-negara berkembang terlihat dari partisipasinya dalam berbagai kelompok internasional.
  21. Komitmen Indonesia terhadap promosi perdamaian adalah prinsip inti strategi diplomatiknya.
  22. Indonesia’s consistent support for Palestine across forums reflects a deep-seated foreign policy principle.
  23. Prinsip-prinsip Pancasila membimbing kebijakan luar negeri Indonesia. Lihat, misalnya, Leo Suryadinata, “Pancasila: The State Ideology of Indonesia,” Journal of Southeast Asian Studies 18, no. 1 (1987): 112-121.
  24. Fokus Indonesia pada kesejahteraan dan keamanan manusia dalam diplomasi adalah aspek yang berkembang dari strategi kebijakan luar negerinya.
  25. Sikap non-blok Indonesia memposisikannya sebagai mediator potensial. Lihat analisis non-blok dalam hubungan internasional kontemporer.
  26. Pertemuan pergeseran ini adalah subjek utama analisis geopolitik saat ini. Lihat, misalnya, laporan dari Council on Foreign Relations.
  27. Erosi dominasi AS adalah topik yang banyak diperdebatkan. Lihat, misalnya, artikel di Foreign Affairs yang membahas tatanan liberal internasional.
  28. Krisis global baru-baru ini menyoroti ketidakstabilan sistem keamanan yang ada. Lihat laporan berita dan analisis akademis tentang konflik-konflik spesifik ini.
  29. Transisi ke sistem multipolar adalah argumen kunci dalam teori hubungan internasional kontemporer. Lihat jurnal akademis yang berfokus pada pergeseran kekuatan global.
  30. Peran isu-isu spesifik seperti Palestina dalam membentuk tatanan dunia baru semakin diakui oleh para sarjana dan pembuat kebijakan.
  31. Kritik terhadap standar ganda dalam hak asasi manusia umum terjadi. Lihat, misalnya, laporan dari kelompok advokasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch.
  32. Upaya Eropa untuk menyusun narasi independen terlihat dalam pernyataan dan resolusi kebijakan luar negeri UE.
  33. Dengan demikian, sikap Eropa mengindikasikan perubahan besar dalam tatanan internasional, yang semakin menekankan keadilan dan konsistensi dalam mematuhi hukum global.
  34. Semakin pentingnya institusi internasional dalam menegakkan legitimasi terlihat dalam tindakan hukum dan diplomatik baru-baru ini.
  35. Tindakan terbaru oleh ICJ dan UNHRC, misalnya, terkait situasi di Gaza, menunjukkan ketegasan ini. Konsultasikan dokumen resmi ICJ dan UNHRC.
  36. Dimensi moral dari dukungan internasional untuk Palestina disoroti dalam banyak analisis oleh organisasi masyarakat sipil dan para sarjana.
  37. Peran yang diperluas dari negara-negara Asia Tenggara dalam dunia multipolar adalah tema dalam studi ASEAN dan analisis keamanan regional.
  38. Potensi ASEAN sebagai jembatan diplomatik dibahas dalam analisis blok regional. Lihat, misalnya, publikasi dari ISEAS–Yusof Ishak Institute.
  39. Suara ASEAN tentang perdamaian global dan hak asasi manusia tercermin dalam pernyataan dan deklarasi bersama.
  40. “Jalan” ASEAN dalam non-intervensi dan dialog adalah prinsip dasar. Lihat, misalnya, Ralf Emmers, “The ASEAN Way of Regional Security Cooperation,” Contemporary Southeast Asia 26, no. 1 (2004): 65-83.
  41. Potensi solidaritas ASEAN yang lebih kuat terhadap Palestina adalah subjek advokasi dan rekomendasi kebijakan di dalam kawasan.
  42. Mengadopsi pendekatan keamanan manusia semakin diadvokasi untuk kebijakan luar negeri ASEAN. Lihat, misalnya, Mely Caballero-Anthony, “Human Security and ASEAN’s External Relations,” Asian Survey 45, no. 4 (2005): 560-579.
  43. Dampak kemanusiaan dari konflik Israel-Palestina didokumentasikan secara ekstensif oleh badan-badan PBB (misalnya, OCHA, UNRWA) dan LSM.
  44. Komitmen ASEAN terhadap tatanan dunia yang adil di luar stabilitas regional adalah aspirasi yang berkembang.
  45. Peluang bagi ASEAN untuk membangun identitas baru sebagai aktor global yang bertanggung jawab dibahas dalam berbagai makalah kebijakan regional.
  46. Memperkuat kerja sama intra-ASEAN untuk tantangan global adalah tujuan yang dinyatakan dalam Cetak Biru Komunitas ASEAN.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *