Peran Ibu di Balik Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Oleh: Thonang Effendi*)

Senin pagi ketika fajar baru menyentuh jendela, seorang ibu bangun bahkan sebelum alarm di telepon genggamnya berbunyi. Dengan langkah pelan ia menuju kamar dua putranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. “Ayo Nak, persiapan Subuh berjamaah,” ucapnya lembut. Dari ruang tamu terdengar suara suami dan dua anaknya yang sudah dewasa, rapi bersiap menuju masjid.

Dua anak yang masih kecil itu bangun sambil mendengarkan kumandang azan Subuh yang memenuhi udara pagi. Dengan sabar sang Ibu membantu mereka bersiap, memastikan baju rapi dan wajah mereka segar. Setelah salat Subuh berjamaah bersama keluarga, ia mengajak keduanya keluar rumah. “Kita olahraga sebentar, ya,” katanya. Anak-anak mengangguk riang.

Usai olahraga, sang Ibu menyiapkan sarapan sehat—nasi hangat, sayur rebus, telur mata sapi, potongan buah, dan segelas susu. Sementara itu, ia mengingatkan pelajaran yang akan dipelajari hari itu, memastikan buku dan perlengkapan sekolah masuk ke tas. Ketika waktu berangkat tiba, ia melepas mereka di gerbang rumah. Dua bocah itu mengayuh sepeda, dan sang Ibu mengingatkan, “Jangan lupa sapa tetangga, ya.” Mereka melambaikan tangan sambil mengucapkan salam kepada warga yang lewat.

Dalam satu rangkaian pagi yang sederhana, tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat tercermin begitu alami: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat yang telah diatur sejak malam sebelumnya. Tidak ada yang dramatis, tidak ada yang dipaksakan—semua mengalir dari keteladanan seorang Ibu.

Dari sepenggal rutinitas itu, kita belajar bahwa seorang ibu bukan sekadar pengasuh atau pengatur kebutuhan rumah tangga. Ia adalah aktor yang menanamkan kebiasaan baik tanpa memaksakan perintah yang memenuhi ruang batin anak. Melalui kesabaran, kehadiran, dan konsistensi, ibu memperlihatkan bahwa karakter luhur bangsa tumbuh dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari.

Kita dapat berbicara panjang tentang program, kebijakan, atau rumusan pendidikan karakter. Namun kenyataannya, fondasi karakter yang paling kuat dibangun bukan dari seminar atau kurikulum, melainkan dari kebiasaan yang anak lihat, rasakan, dan tiru di rumah—terutama dari seorang ibu. Keteladanan yang dipraktikkan ibu adalah bahasa pendidikan yang paling efektif.

Di tengah arus zaman yang serba cepat dan digital, peran ibu bahkan kian kompleks. Anak-anak dapat mengakses pengetahuan dari mana saja, tetapi mereka tidak bisa belajar kasih sayang, disiplin, empati, dan kesadaran moral dari layar. Karakter tidak dapat diunduh seperti aplikasi. Ia tumbuh dari sentuhan, perhatian, dan pembiasaan yang sabar—dan di sinilah letak pentingnya peran ibu.

Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang diinisiasi oleh Kemendikdasmen sesungguhnya membuka kembali kesadaran kita bahwa kebiasaan adalah pintu masuk karakter. Tujuh kebiasaan itu bukan sekadar rutinitas fisik, tetapi fondasi nilai-nilai luhur yang akan membentuk perilaku seseorang saat beranjak dewasa.

Bangun pagi menanamkan disiplin dan manajemen waktu.

Beribadah membentuk spiritualitas dan kesadaran moral.

Berolahraga melatih ketangguhan dan vitalitas.

Makan sehat mengajarkan kesederhanaan dan kepedulian pada tubuh.

Gemar belajar menanamkan rasa ingin tahu dan ketekunan.

Bermasyarakat membangun empati, sopan santun, dan gotong royong.

Tidur cepat mengajarkan keseimbangan ritme hidup dan kedisiplinan.

Di balik semua itu, ibu memainkan peran sentral sebagai pengarah ritme harian. Ia tidak sekadar mengatur jam tidur atau menyiapkan bekal sehat, tetapi menyiapkan habit ecosystem—ekosistem kebiasaan—yang dihidupi anak setiap hari. Melalui kehadirannya, nilai-nilai luhur bangsa diterjemahkan menjadi tindakan nyata, bukan sekadar teori yang dihafal.

Dalam banyak keluarga, ibu menjadi “detak” yang menstabilkan ritme rumah: kapan makan, kapan belajar, kapan istirahat, kapan bermain, kapan beribadah. Konsistensi inilah yang secara perlahan membentuk karakter anak: disiplin, empati, kesopanan, kemandirian, dan rasa tanggung jawab.

Peran ibu semakin penting ketika kita menatap Indonesia Emas 2045. Bonus demografi yang sedang dialami Indonesia dapat menjadi berkah jika generasi mudanya tumbuh dengan kebiasaan baik dan karakter yang kuat. Namun bisa berubah menjadi beban jika generasi muda tumbuh rapuh, mudah menyerah, dan kurang disiplin.

Ibu adalah benteng pertama pembentukan kualitas generasi itu. Kebiasaan kecil yang ditanamkan seorang ibu hari ini menjadi modal sosial, budaya, dan moral bangsa dua puluh tahun mendatang. Dalam setiap kebiasaan sederhana—dari cara anak mengucap salam, menata buku, membuang sampah, hingga menghargai waktu—tersimpan cikal-bakal etos generasi masa depan.

Indonesia dapat membangun infrastruktur, memajukan teknologi, dan menyusun kurikulum terbaik. Namun tanpa karakter yang kuat, semua itu tidak akan bernilai jangka panjang. Ibu adalah sosok yang bekerja di balik panggung peradaban, membangun generasi melalui cara yang paling hening: pembiasaan sehari-hari.

Pada akhirnya, tulisan ini adalah penghormatan bagi para ibu di seluruh Indonesia—mereka yang memulai hari dengan keikhlasan, merawat kebiasaan dengan kesabaran, dan menanam karakter bangsa tanpa banyak kata. Di balik setiap anak yang hebat, hampir selalu ada seorang ibu yang berjuang dalam senyap: membangunkan lebih cepat, memahami lebih dalam, dan mencintai lebih lama.

Saat kita mendekati Hari Ibu, mari kita mengingat bahwa masa depan bangsa ini tidak hanya dibangun di ruang rapat atau ruang kelas, tetapi juga di ruang tamu sederhana tempat seorang ibu mengikat tali sepatu anaknya sambil berkata, “Belajarlah yang baik. Jadilah manusia yang berguna.”

Karena peran aktif merekalah—para ibu—tumbuh generasi yang kelak akan menguatkan Indonesia.

Penulis*)
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Karakter Generasi Bangsa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *