Indonesia 80 Tahun: Prabowo, Thucydides, dan Mandat Kesejahteraan
Oleh: Rioberto Sidauruk* Dosen Hukum Konstitusi
Di Hambalang, Jumat (8/8/2025), dalam acara retret KADIN, Presiden Prabowo Subianto menyoroti adagium kuno Thucydides: “The strong do what they can and the weak suffer what they must.”
Pernyataan ini, sering terdengar sinis, acapkali menampar realitas bangsa kita.
Sebuah cerminan telanjang, bahwa kekuatan adalah penentu utama, dan yang lemah tak punya pilihan selain menderita.
Sejarah peradaban, dari ekspansi kekaisaran hingga penjajahan, adalah saksi bisu kebenarannya.
Indonesia, dengan riwayat panjang di bawah kolonialisme, tentu sangat akrab dengan pahitnya menjadi “yang lemah.”
Lantas, bagaimana seorang pemimpin modern mengintegrasikan realisme Thucydides yang kejam itu untuk kemaslahatan rakyatnya?
Sebelumnya ada pernyataan Prabowo mengenai tema HUT ke-80 RI, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” kini terasa amat relevan dengan ajaran Thucydides.
Prabowo secara tegas menyoroti persatuan dan kedaulatan sebagai fondasi utama kekuatan negara.
Ini sejalan dengan pemahaman Thucydides bahwa kekuatan adalah penentu segalanya.
Namun, bagi Prabowo, kekuatan Indonesia bukan sekadar militer, melainkan solidaritas internal yang tak tergoyahkan.
Ketika Prabowo menekankan Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi satu—ia menyoroti bagaimana keragaman yang disatukan menjadi kekuatan intrinsik yang tak ternilai.
Negara terpecah akan “lemah,” rentan pada tekanan luar maupun konflik dalam, sehingga rakyatnya pasti “menderita.”
Sebaliknya, persatuan menciptakan pondasi kuat untuk kedaulatan.
Realisme Adil
Menjaga kedaulatan berarti memastikan Indonesia takkan lagi menjadi pihak yang “menderita” di bawah kehendak siapa pun.
Ini adalah aplikasi Thucydides yang cerdas: memiliki kekuatan (persatuan dan kedaulatan) untuk melindungi diri dari segala bentuk penindasan.
Pernyataan Prabowo juga menawarkan perspektif baru yang mencerahkan: membalikkan makna suram Thucydides menjadi sebuah mandat moral.
Ketika Prabowo menyerukan agar kita “tidak bersikap seperti burung unta” dan berani “menatap ancaman dan bahaya”, ia menggemakan realisme Thucydides yang jujur.
Pemimpin harus berani menghadapi kenyataan kekuatan, bukan malah bersembunyi.
Melarikan diri dari realitas hanya akan membuat negara ini semakin “lemah” dan rentan menderita.
Ini bukan tentang kekalahan, melainkan tentang kesadaran strategis dan keberanian menghadapi kenyataan.
Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya keteladanan pemimpin melalui filosofi Jawa “ing ngarso sung tulodo” dan peringatan tajam “kalau ikan busuk, busuknya mulai dari kepala.”
Bagi Thucydides, kualitas kepemimpinan adalah kunci kekuatan sebuah negara.
Prabowo menambahkan lapisan etis: kekuatan kepemimpinan harus terpancar dari integritas dan contoh nyata.
Pemimpin yang baik bukan hanya kompetensi, melainkan juga integritas yang membangun kepercayaan, fondasi utama kekuatan kolektif bangsa.
Visi Bangsa
Puncak dari reinterpretasi ini adalah ketika Prabowo berbicara tentang cita-cita melihat “wong cilik iso gemuyu” (rakyat kecil bisa tersenyum).
Ini adalah esensi bagaimana ajaran Thucydides diolah menjadi pencerahan sejati.
Jika Thucydides menggambarkan yang kuat menindas yang lemah hingga menderita, Prabowo membalikkan narasi ini: kekuatan negara harus digunakan secara proaktif untuk mencegah penderitaan rakyat, bahkan mengubahnya menjadi kebahagiaan dan kemakmuran.
Negara yang kuat memiliki tanggung jawab mutlak untuk memastikan rakyatnya tidak menjadi pihak yang “menderita,” melainkan hidup dalam “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo” dan “baldatun toyyibatun warbbun ghafur.”
Visi Prabowo untuk mencapai “Rakyat Sejahtera” dan “Indonesia Maju” adalah tujuan utama dari seluruh kekuatan yang dibangun.
Ini adalah pergeseran radikal dari realisme keras Thucydides (di mana yang kuat menindas) ke realisme yang bertanggung jawab (di mana yang kuat melindungi dan memberdayakan).
Frasa “Rakyat Sejahtera” menunjukkan bahwa segala upaya pembangunan kekuatan negara—dari persatuan hingga kedaulatan—ditujukan pada peningkatan kualitas hidup rakyat.
Di sini, kekuatan negara secara aktif digunakan untuk mencegah dan mengatasi penderitaan rakyat, bukan pasif membiarkannya.
Ajakan mengibarkan Merah Putih dan merayakan kemerdekaan dengan kegiatan positif adalah wujud nyata bagaimana kekuatan kolektif rakyat diaktifkan secara masif.
“Merah darah” dan “putih kesucian jiwa” mengingatkan pada pengorbanan bangsa, dan semangat ini harus terus dihidupkan melalui tindakan nyata yang menguntungkan rakyat banyak.
Ini adalah cara praktis untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang “dibiarkan menderita.”
Terakhir, Prabowo juga mengusung filosofi “seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak” dan prinsip anti-penjajahan, anti-penindasan, anti-rasialisme.
Thucydides memahami strategi aliansi, tetapi Prabowo menyematkan dimensi moral yang tak tergoyahkan.
Kekuatan Indonesia di mata dunia harus berlandaskan prinsip kemanusiaan universal, menolak segala bentuk penindasan yang Thucydides hanya gambarkan sebagai fakta sejarah.
Tentu saja, mengubah filosofi menjadi kenyataan adalah tantangan sesungguhnya yang berat.
Realisme Thucydides akan terus menguji.
Bisakah Indonesia, dengan kekuatan persatuan dan visi kepemimpinan yang etis, benar-benar memastikan tidak ada lagi “wong cilik” yang menderita?
Mampukah negara mendistribusikan kemakmuran secara adil, menghadapi ancaman global tanpa kehilangan integritas, dan menolak godaan kekuasaan yang menindas?
Inilah titik di mana diskusi dan debat publik menjadi krusial dan mendesak.
Pidato Prabowo bukan hanya sekadar retorika, melainkan undangan provokatif untuk merenungkan kembali tujuan hakiki kekuatan negara.
Apakah kekuatan itu digunakan untuk kepentingan segelintir elite, ataukah ia benar-benar menjadi perisai dan penggerak bagi seluruh rakyat?
Jika kita bisa memastikan kekuatan negara terarah pada kesejahteraan rakyat, maka kita telah berhasil melampaui determinisme Thucydides.
Kita tidak hanya sekadar menerima bahwa “yang kuat melakukan apa yang mereka bisa”, tetapi kita juga menegaskan bahwa yang kuat, dalam konteks Indonesia, harus melakukan apa yang mereka bisa untuk memastikan yang lemah tidak lagi menderita.
Itu adalah esensi kemerdekaan sejati dan janji yang harus kita tagih secara tegas dari setiap pemimpin.*