“Kemungkinan saat sidang isbat, terjadi perbedaan,” katanya.”Selain itu, potensi terjadinya kegagalan dalam rukyat cukup besar. Sebab di samping hilal sangat tipis dengan elongasi geosentrik 6,4 (batas kriteria), kemungkinan besar faktor cuaca yang ada juga cukup mengganggu,” ujarnya.Maka ketika rukyat gagal, imbuh Prof. Thomas, akan ada potensi perdebatan saat sidang isbat.

Sebagai lembaga dakwah, LDII sudah sejak lama membentuk tim rukyatul hilal, selain untuk kebutuhan internal lembaganya, juga dalam rangka ikut serta berkontribusi membantu pemerintah melihat Hilal. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Wilnan Fatahillah Koordinator Tim Rukyatul Hilal DPP LDII. Wilnan Fatahillah mengatakan bahwa untuk menunjang tim rukyatul hilal, LDII menyiapkan peralatan yang sesuai dengan standar pemantauan dan dengan jumlah yang hampir sejumlah provinsi yang ada di Indonesia bahkan di Kabupaten/kota.

“Peralatan teropong yang disiapkan oleh LDII untuk kegiatan tim rukyatul hilal insa Alloh lengkap, hampir masing-masing provinsi dan kabupaten/kota memiliki. Ini bentuk kontribusi LDII. Ini semua upaya LDII untuk menjaga kehati-hatian dalam penentuan awal bulan Hijriah,” jelas Dr.Wilnan.

Dalam penentuan awal Ramadhan, LDII sendiri menggunakan dua metode lanjut Wilnan, ini sesuai dengan keputusan Komisi Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah harus menggunakan rukyat dan hisab. Keduanya memiliki landasan dalil, ujar Wilnan.

Selanjutnya, Wilnan mengajak umat Islam untuk tetap menjaga persatuan dalam menyambut bulan suci Ramadan, meskipun terdapat perbedaan dalam metode penentuan awal bulan.

“Kita harus tetap toleran terhadap perbedaan metode dan menjalankan ibadah dengan penuh kekhusyukan,” pungkasnya.

Untuk Ramadhan tahun 1446H/2025M, dalam proses pengamatan hilal, LDII turut berpartisipasi dengan mengerahkan tim pemantau di 82 titik yang tersebar di berbagai daerah. Upaya ini dilakukan demi memastikan hasil rukyatul hilal yang lebih akurat dalam mendukung penentuan awal bulan Ramadan.

“Kami berkomitmen menyelaraskan metode ilmiah dengan aspek keagamaan, serta memperkuat kebersamaan dalam menentukan awal Ramadan,” tutup Wilnan.(fin).