Pohon yang Menunggu Esok

Oleh: Thonang Effendi*)

 

Satu pohon rindang yang berdiri tegak menjulang ke angkasa, dengan dedaunan yang merunduk di segala arah, tidak hanya meneduhkan siapa pun yang berlindung di bawahnya. Lebih dari itu, pohon berfungsi sebagai filter udara alami, meredam panas perkotaan, memperlambat laju air hujan, serta menjadi sumber makanan bagi burung, serangga, dan mamalia kecil. Manfaatnya jauh lebih banyak daripada yang tampak oleh mata.

Di penghujung tahun, tepatnya setiap 28 November, negeri ini memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia. Peringatan yang lahir sejak diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008 ini, pada tahun 2025 mengusung tema “Hijaukan Bumi, Pulihkan Alam.” Tema tersebut selaras dengan upaya global memulihkan kerusakan lahan. Harapannya, momen ini menumbuhkan kesadaran bahwa menanam pohon adalah langkah sederhana namun efektif untuk mencegah banjir dan tanah longsor.

Instruksi, edaran, dan ajakan dari berbagai instansi pemerintah, lembaga sosial, hingga sekolah bergema seperti orkestra nasional yang menyerukan kepedulian lingkungan. Curah hujan yang mulai tinggi di bulan November menjadikan periode ini waktu terbaik untuk menanam—memberi peluang hidup lebih besar bagi bibit agar kelak tumbuh subur dan menghijaukan lingkungan sekitar.

Berbicara tentang menanam pohon, ingatan saya melayang ke lima belas tahun silam ketika kami sekeluarga pulang kampung ke daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mendiang Ayah mengajak dua cucunya mengambil bibit mangga yang telah disiapkan dalam polibag. Cucu pertama bertanya, “Mbah, nanti pohon mangga ini ditanam di mana?” Dengan senyum lembut, beliau menjawab, “Kita tanam bersama di pekarangan samping rumah.” Cucu kedua menimpali, “Kami boleh ikut menanam, ya Mbah?” Ayah kembali tersenyum, “Iya, kalian yang menanam, Mbah yang menyiapkan lubang tanamnya.” Kakak beradik itu berseru riang, “Hore, asyik! Kita menanam pohon bersama!”

Setelah selesai menanam, merapikan tanah, dan menyiram bibit mangga itu, Ayah berkata, “Kalau nanti pohon ini besar dan berbuah, kita panen bersama dan menikmati buahnya bersama keluarga.” Serempak keduanya menjawab dalam bahasa Jawa berlogat ibu kota, “Nggih, Mbah.” Bayangan memanen buah dari pohon yang mereka tanam sendiri menjadi mimpi kecil yang terus mereka ingat hingga kini, saat keduanya telah memasuki usia kuliah.

Waktu berlalu. Ayah saya telah wafat, disusul kemudian oleh Ibu. Namun pohon mangga kecil yang dulu kami tanam bersama kini menjulang rindang, dengan daun lebat dan buah yang berlimpah. Buah yang tidak hanya kami nikmati sekeluarga, tetapi juga memberi kegembiraan bagi para tetangga.

Sepenggal kisah itu mengingatkan kita bahwa pohon rindang yang manfaatnya kita rasakan hari ini adalah hasil ketulusan generasi sebelumnya menjaga harmoni antara manusia dan alam. Mereka menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kelestarian lingkungan. Kini, tugas kitalah untuk peduli dan bertindak—menanam pohon hari ini agar manfaatnya kelak dinikmati generasi berikutnya.

Menanam pohon di Indonesia saat ini memegang peran penting dan krusial. Pemerintah menargetkan rehabilitasi lahan kritis seluas 12 juta hektare demi mencapai FoLU Net Sink 2030—kondisi ketika penyerapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan lebih tinggi daripada emisi yang dilepaskan. Target ini bukan sekadar angka, tetapi penentu kualitas lingkungan hidup generasi mendatang.

Akhirnya, diperlukan kesadaran penuh dari seluruh elemen bangsa untuk berkolaborasi, bersinergi, dan bekerja sama dalam menjaga kelestarian alam di bumi pertiwi.

Hari Menanam Pohon Indonesia menjadi pengingat bahwa lahan dan hutan bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan sistem penyangga kehidupan yang menjaga ketersediaan air bersih dan kestabilan iklim di sekitar kita.

Penulis*)
Thonang Effendi

Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII

Wakil Ketua PINSAKONAS Pramuka Sekawan Persada Nusantara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *